Minggu, 26 Agustus 2012

Malam Bersama Capila



Waktu menunjukkan pukul 00.00 waktu Ehime. Terdengar suara bel dipencet beberapa kali. Dari dalam kamar berusaha kunyalakan lampu dan melihat keluar dari celah pintu yang berbentuk lensa. Tengah malam begini Fadli ternyata datang ke kamarku. Belum dengan kondisi mata yang sempurna kemudian kubuka pintu kamar apartemen.

Bonbon….
Terdengar tiga suara gadis yang sudah tak asing lagi di telingaku.
Ha… Capila,… ternyata menyambangi kamarku
Tiga orang Mahasiswa Ehime University yang pernah ke indonesia untuk melaksanakan KKN Internasioanl di Makassar. Capila dalam bahasa Makassar berarti Cerewet. Lucunya, tiga gadis jepang itu sama sekali belum tahu apa arti capila sampai sekarang. Tetap saja mereka suka dengan nama itu.

Bonbon. Apa kabar?, kembali keceriaan ketiga gadis itu menyapaku, sesaat mataku harus kupaksakan untuk tidak tertutup.
Ngantuk?,..
Tidak,. Saya tidak ngantuk.
Bohong, itu mukamu masih kelihatan ngantuk, maafkan kami bonbon. Gomennasai
Daijobu yo,.. (Tidak apa-apa).
Aku kemudian bergegas mencuci muka. Setelah itu mengeluarkan sebuah toples unik dari karton yang berisikan kue kering buatan Mama. Sebenarnya toples itu saya beli di toko hyaku eng, sebuah toko yang

Sabtu, 25 Agustus 2012

Kenapa Tuhan?


Kenapa, tuhan
Oleh : Supriadi Herman
Tuhan, sudahkah habis malam-malamku untuk-Mu?
Hingga mataku terbangun pada pertengahan malam namun  tak sempat lagi bersujud padamu
Tuhan, kenapa Tuhan?
Saya kenapa Tuhan?

Tuhan, Sudahkah habis air mataku untuk-Mu?
Hingga tak pernah lagi tersentuh hati ini ketika sendiri
Sudahkah air mata itu kini kering tertutup debu-debu dosa?

Tuhan,
 kenapa mataku?
Ada apa dengan mataku?
Dosa apa yang telah diperbuatnya?

Tuhan?,
Semakin mudah kulihat semua kesalahan
Semakin gampang membenarkan keadaan

Rabu, 01 Agustus 2012

Refleksi Kepedulian dan Kepekaan Hati dalam Novel “EXISTERE”


Oleh : Supriadi Herman
            Bagaimana fikiran anda ketika mendengar kata “pelacur”. Menghina, memaki, mengutuk, atau bahkan mendoakan supaya Ia mati?
            Sangat berbeda. Sinta Yudisia kembali dengan karya terbarunya “Existere”. Sebuah novel menyusul karya best Seller “The Road to the Empire” . Sinta Yudisia memandang berbeda terhadap pelacuran.  Mungkinkah ia mendukung pelacuran sebagai pekerjaan yang boleh-boleh saja dalam keadaan terpaksa?
            “kamu dan aku sama seperti perempuan lain. Ingin hidup normal dengan segala pernak-pernik hidup yang pantas dimilki oleh perempuan. Sekolah, kuliah, kerja, menikah, punya suami, anak yang baik-baik dan segala kebutuhannya terpwnuhi. Tapi pernahkah kita temui keseragaman dalam hidup ini? Tak semua orang punya kesempatan menempuh jalur di hidup yang lurus” (Existere, hal 203)
            Ketika tempat pelacuran terkena Tsunami. Bagaimana perasaanmu? Sakitkah, iba kah? Atau kita turut menjadi orang yang senang. Memaki mereka dan menyumpah mereka masuk neraka. Itulah salah satu kalimat yang ada dalam buku ini. Yang membangunkan kita bahwa betapa kita hanya menjadi orang yang asyik atas kesendirian dan kembali memaki mereka yang sedang terjebak, tanpa usaha untuk mengembalikan ke jalan yang benar.
            Adakah kita pernah peduli terhadap apa yang mereka perbuat? Pernahkah muncul setitik rasa penasaran mengapa mereka rela berbuat seperti itu? Atau bahkan kita  pernah  mendoakan wanita yang menjajakan diri mereka untuk kembali ke jalan yang benar?
            Karya Sinta Yudisia yang diterbitkan tahun 2010 oleh Penerbit Lingkar Pena ini. Hendak bercerita