Sebuah Tinjauan dan Perbandingan
Pembedah:
Hamran Sunu[2]
Sastra
pertama-tama hadir untuk menghibur.
Kemudian
dikritisi
(YB Mangunwijaya)[3]
Para
pengarang legendaris dunia telah memberikan banyak contoh cerpen yang dianggap
berhasil. Cerpen Ernest Miller Hemingway[4] yang
sederhana misalnya, senantiasa membawa pesan tersirat yang lesak. Beliau menghidupkan
seluruh karakter dalam tulisannya dengan cerita sederhana, penuh dialog, alur
yang runtut, pula secara cerkas dan proporsional membuat peran tokohnya tampil,
kuat,
dan mengesankan tanpa perlu berpanjang-panjang. Bagaimana dengan kedua belas
cerpen yang dibukukan dalam buku kumpulan cerpen Sepotong Cokelat dan cerita-cerita yang lain? Apakah cerpen-cerpen
di buku ini telah memikat, dan berhasil? Tentu saja, tak dapat secara picik
memandang sebuah cerpen hanya dengan melulu membaitkannya pada cerpen Hemingway
semata. Banyak perkara lain yang laik dipertimbangkankan. Termasuk membaca beberapa cerpen (is) lain.
Tokoh Sentral yang Sibuk
dengan Dirinya
Ada beberapa temuan yang mencirikan
kesamaan beberapa cerpen dalam antologi ini. Jika Papa Ernest, peraih Nobel
Sastra tahun 1954 ini menyibukkan seluruh tokohnya dengan karakter yang kuat
dan berpengaruh. Maka sebaliknya, di kumpulan cerpen ini, beberapa tokoh sibuk
dengan dunianya. Sementara Hemingway menjadi sutradara untuk ceritanya, maka
beberapa cerpen di sini seolah dibaca oleh penulis dalam sebuah pertunjukan
monolog. Jika satu tokoh mendominasi, maka kemungkinan pembaca tak akan
menemukan bentuk dialog. Toko itu akan mengembangkan dirinya dengan kemungkinan
berimaginasi tanpa batas dalam deskripsi bertele. Padahal dialog menurut
Hemingway, adalah yang menghidupkan karakter dan cerita.
Pada cerpen karya Rasdianah ND, Perempuan Ibu misalnya, tokohnya 2
wanita yang menaut konflik dengan lelaki. Tokohnya 70 persen berfokus pada aku
sebagai pencerita. Kemudian ibunya. Menurut saya
tokoh aku terlalu sibuk bercerita tentang dirinya, sehingga memerlukan halaman panjang yang menurut hemat saya masih dapat diringkas. Tengoklah Hemingway dalam cerpen Pengaduan[5], pada cerpen ini, ia menggunakan sudut pandang aku. Namun, tokoh aku tak lantas hanya sibuk dengan dirinya. Ada pelayan, Luis Delgado, karakter kolektif pengunjung bar, dan gambaran sederhana namun gamblang tentang latar tempat Bar Chicote’s. Maka, pada cerpen Perempuan Ibu, ada potensi menghadirkan lelaki, dan tokoh lain sehingga membuat cerpen ini berdenyut dan alur yang dinamis.
tokoh aku terlalu sibuk bercerita tentang dirinya, sehingga memerlukan halaman panjang yang menurut hemat saya masih dapat diringkas. Tengoklah Hemingway dalam cerpen Pengaduan[5], pada cerpen ini, ia menggunakan sudut pandang aku. Namun, tokoh aku tak lantas hanya sibuk dengan dirinya. Ada pelayan, Luis Delgado, karakter kolektif pengunjung bar, dan gambaran sederhana namun gamblang tentang latar tempat Bar Chicote’s. Maka, pada cerpen Perempuan Ibu, ada potensi menghadirkan lelaki, dan tokoh lain sehingga membuat cerpen ini berdenyut dan alur yang dinamis.
Cerpen ini fokus sekaligus bertele; dan
rumit. Ada paragraf yang sebenarnya dapat dipenggal. Asma Nadia[6]
menyebut, sebuah cerpen masih dianggap panjang atau bertele jika kita masih
dapat memangkasnya lebih pendek. Pada cerpen Cermin yang berkisah tentang seorang pejabat korup pula demikian.
Untung saja cerpen berjenre surealis ini mengangkat tema aktual yang bersinggungan
dengan isu sosial. Cerpen yang menggugah secara kolektif biasanya menarik dan
menggerakkan. Namun, alasan itu tidak lantas membuat cerpen ini tak “egois”,
sebab, rakyat digambarkan sebagai objek dalam kacamata tokoh utama, bukan
sebagai subjek. Pelaku.
Cerita tentang cokelat sudah terlalu
umum, jika ingin membuatnya buatlah cerita dengan ide dan penggarapan yang
unik. Cerpen Sepotong Cokelat tidak
memiliki keunikan. Sedang pada cerpen Meminjam
Sepasang Mata, hal yang
patut dipersoalkan adalah tunanetra yang hobi joging sambil
mendengarkan musik. Tunanetra akan mengalami kesulitan berlari kencang, apalagi
sambil mendengarkan musik. Telinga apalagi bagi tunanetra, merupakan alat keseimbangan pada
saat berjalan.
Namun, saya tidak menyimpul cerpen-cerpen
tersebut lebih buruk atau lebih baik dari karya Hemingway. Bahkan, cerpen Perempuan Ibu merupakan cerpen dengan
karakter yang paling kuat dan hidup dalam kumpulan cerpen ini.
Setiap
penulis punya cara khas yang tak dapat digugat kekaryaannya. Namun sebagai
panutan dunia sastra yang karyanya melegenda, karya-karya Hemingway patut
diapresiasi. Laik diteladani. Bahkan Ezra Pound[7] menahbiskannya
sebagai pengarang prosa dengan gaya terbaik di dunia.
Warna Lokal dan Kearifan
Lokal
Ahmad
Tohari[8]
yang baru saja menjadi participating
writer Makassar International Writers Festival 2012, mengungkap bahwa
eksplorasi kearifan lokal merupakan salah satu kunci sukses ia dapat banyak menuturkan
berpuluh kisah, tentu saja dengan tema lokal. Contoh betapa kayanya nuansa
lokal dalam karya Ahmad Tohari, dapat ditelisik pada buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin[9].
Cerpen-cerpen karya Supriadi Herman
seluruhnya beraroma lokal. Dalam cerpen Jampi-jampi
Kota, diceritakan sepasang suami istri warga Kajang yang melanggar aturan
adat. Mereka terpaksa karena terdorong oleh keinginan memperbaiki nasib di
kota, walau ternyata tidak sesuai harapan. Ending cerpen ini cukup manis dan
realis, mengetengahkan dua kenyataan pahit yang harus diterima kedua tokoh utama,
namun cerpen ini terkesan menggurui di bagian awal. Cerpen kedua, Perempuan Songka memapar tokoh utama
sebagai perempuan peramu nikmat yang konfliknya berlangsung di tengah keluarga inti dan warga sekitar. Cerpen ini memiliki pautan tokoh yang
potensial untuk dijelajah keunikan konfliknya. Ending cerpen Perempuan Songka punya kasus yang sama
dengan cerpen 13. Ending yang tak
manis dan terkesan dipaksakan. Kebetulan yang tak mengherankan saya:
“Lalu, anaknya yang lain? Mungkin sudah mati terlalap
api. Semua anaknya tadi dalam keadaan terlelap tatkala mereka ke rumah Yasmin.
Hari itu tepat Tanggal 13…”
Sedang
pada Perempuan Songka:
“Tepat saat aku merengek di kakinya, tak sengaja aku
buka sarung yang ia kenakan. Kulihat persis tahi lalat di selangkangan keriputnya
sangat mirip dengan tahi lalat punyaku.
“Kalau begitu ibu juga perempuan songka!” Teriakku lantang. Amarah
orang tua bermuka kasar itu memuncak. Setelah itu, ia kembali melayangkan
cakaran dan pukulan di wajahku. Aku tak melawan, teronggok, menangis
sejadi-jadinya.”
Selain
kebetulan yang menurutku memaksakan logika. Kebetulan itu secara tatabahasa
sebenarnya tak terlihat: tak sengaja aku
buka sarung yang ia kenakan. Kalimat ini janggal karena siratnya tak
menjejak kesengajaan. Kemungkinan yang harusnya ditulis adalah: tak sengaja sarung yang ia kenakan terbuka.
Atau; tak sengaja sarung yang ia kenakan
tersingkap.
Karaeng
Loeta punya keunggulan lebih dibanding tiga cerpen lain.
Fiksi ini memiliki atribut yang nyaris sempurna, tokohnya yang matang dan
“sibuk”, konflik yang tajam dan intes, serta ending yang membikin penasaran dan
cukup tak terbaca, meskipun ending sepola ini telah banyak digunakan oleh
penulis lain.
Yang perlu segera ditinjau tentang kelokalan
adalah, apakah penulis (masih) berada pada kisar warna lokal atau (telah)
berada pada jelajah kearifan lokal. Atau dengan arung yang lebih larut dengan
melibatkan keduanya[10]?
Kisah dalam cerpen Perempuan Songka, dalam aksen lokal lain dengan mudah dapat kita
temukan. Wanita peramu nikmat dalam masyarakat lokal mana pun tentu akan
mendapatkan tentangan dari masyarakat sekitar, entah sebutannya songka, perek,
salome, lonte, senok, dan sebagainya. Sedang tahi lalat di sekira kemaluan,
saya kira juga merupakan mitos umum yang berlaku juga di daerah lain. Pada
cerpen Jampi-jampi Kota dan Karaeng Loeta juga demikian. Ini
sepenuhnya tentang warna lokal. Jika pun telah menerabas kearifan lokal, maka
sentuhannya masih minim:
“Baju hitam yang selalu siap di lengan, sarung hitam
yang dijadikan bidak di pinggang, dan ikat kepala hitam yang dijadikan tameng
matahari yang tak hitam. Sayangnya,
tak ada sandal hitam! Mungkin bila mereka cukup pandai membuat sandal, pastilah
sandal itu berwarna hitam juga.”
Kutipan
di atas adalah warna lokal khas Kajang yang (kemungkinan) tidak terdapat di
daerah lain dan berpotensi menjadi kearifan lokal. Syaratnya adalah penulis
dengan ulet menggali nilai-nilai luhur yang khas dari simbol penggunaan warna
hitam dalam banyak aspek kehidupan orang Kajang.
Perhatikan
contoh cerpen Kuntowijoyo[11]
berikut ini:
“Ia menaburkan beras
kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra, “Rem rem sidem premanem,rem
rem sidem premanem, rem rem sidem premanem.”Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang
diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah
menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan.
Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai
dengan kiblat papat, arah yang keempat, dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning
yang kelima.”
Kuntowjoyo
amat piawai dan mahsyur bercerita dengan khasanah sosiologi antropologi yang
arif dan dahsyat. Dalam cerpen Rumah-rumah
yang Terbakar karya beliau, juga demikian.
Kerapatan Alur dan
Kemulusan Bercerita
Alur
yang rapat dan fokus tampak terlihat pada cerpen Perempuan Ibu, hal itu difasilitasi oleh sedikitnya tokoh yang
berperan. Namun cerpen ini tidak cukup lugas dan terkesan menggurui. Cerpen-cerpen
Fitrawan Umar rupanya telah cukup matang mengalur. Juga memiliki ketenangan
dalam bertutur. Pada cerpen Setelah Ibu
Tiada, potensi konflik hingga memasuki ambang konflik dan konflik tersaji
mulus sejak awal hingga akhir.
Demikian pula pada cerpen Seperti Cerita Menjelang Kepergian, dan Cerita Terakhir. Tetapi alur yang rapat
mulus dan tenang, tidak dapat diterapkan pada semua cerpen. Cerpen Riana, misalnya. Kalau yang dimaksudkan
penulis sebagai ketenangan yang mengejutkan pada bagian akhir, saya hanya mampu
“cukup”
terkejut. Mungkin karena ada kesan, akhir yang demikian telah dijangkau pembaca
sejak Riana menyentuh payudara Vira, dan saat Riana tidur tanpa busana.
Pandangan
ini relatif, mungkin karena saya telah terbiasa membaca alur semacam ini.
Mungkin saja pembaca lain akan mengalami kejutan yang tenang yang efek henyaknya dirasakan jauh setelah itu. Kejutan
yang tenang, memang jauh lebih sulit dikemas dibanding dengan kejutan yang
menegangkan.
Cerpen Riana walau pun mulus, tak ubahnya laporan perjalanan seorang wartawan
untuk rubrik feature. Kota Hongkong
dan Macau tergambar faktual dan lugas. Padahal dalam sastra ada sentuhan yang
laik dicoba diceburkan ke dalamnya: mencuatnya pergumulan emosi yang digali
dari simbol-simbol yang dipapar dan dikaitkan dengan tokoh, latar, atau pun alur dalam cerpen.
Perhatikan
kutipan cerpen Riana:
“RUAS-RUAS jalan Tsim Sha Tsui belum sepi. Mulai pagi
sampai malam silih berganti manusia hilir mudik di sepanjang jalan Nathan Road.
Pada salah satu bangunan di sisi jalan itu, kami menginap. Di Taiwan Hostel.
Benar-benar penginapan sederhana. Konon, hostel ini menjadi pilihan menarik
para backpacker bila berkunjung
ke Hong Kong. Tak jauh dari sini, terdapat Hong Kong Islamic Centre, dekat
Kowloon Park. Begitu pula, kami hanya perlu berjalan kaki tak sampai tiga puluh
menit untuk sampai ke Victoria Harbour (dua hari ini, setiap jam delapan malam
kami ke sana, menyaksikan A Symphony of Lights).”
Simak
kutipan cerpen Seribu Kunang-Kunang di
Manhattan[12]:
“Marno
mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam
itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan
hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokannya kepalanya ke bawah dan
satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut
itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa
senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.”
Atau
cerpen Angin yang Menari di Divan Yolu[13]:
“Namun
yang saya dapatkan adalah kebingungan yang menyesakkan. Tidak bisakah saya
mengubah diri seperti Aya Sofya di sana. Diubah dari gereja lalu masjid dan
kini museum. Dari peradaban Romawi, Nasrani lalu Islam yang membuatnya jadi
harmoni. Kita terlalu tepat (atau tidak sama sekali!) untuk bersua di sini,
sebab seolah kita direinkarnasi dari kegemilangan sejarah masa lalu yang
terpatri di sini.”
Kedua
cerpen di atas memamparkan simbol kota yang dikaitkan dengan gambaran diri
tokoh secara emosional.
Membunuh Tokoh: Limitasi
Kreasi
Apakah
mematikan tokoh menurutmu keren?
Cerpen 13, Karaeng Loeta, Setelah Ibu Tiada, Seperti Cerita Menjelang
Kepergian, dan Cerita Terakhir.
Inilah beberapa cerpen dengan adanya kematian salah satu tokohnya. Kematian salah satu tokoh dalam
cerita, memang adalah salah satu cara mengembangkan alur atau menggerakkan tokoh, juga kerap
menjadi pilihan akhir cerita. Namun jika tak berhati-hati dan sadar, mungkin
saja kita ternyata ingin berlindung dan menyelamatkan diri dengan “kematian” salah
satu tokohnya. Akan tampak terasa lebih mudah mengembangkan alur dengan
mematikan salah satu tokohnya. Tapi, jika tak piawai dan wajar, pembaca akan
segera tahu bahwa kematian ini seolah terencana oleh penulis sebagai jalan pintas menggenapkan atau
menuntaskan cerpen.
Dengan menganggap alur, setting, konflik,
dan ending akan lebih mudah (penulis hampir pasti tidak menyadarinya), maka
penulis tanpa sadar mengkerangkeng gapaian ide dan mahakreativitasnya ke limit
tertentu saja. Ada banyak cara untuk meramu unsur-unsur cerpen tanpa harus
membunuh tokohnya. Jika dilakukan, maka hukum karma boleh jadi berlaku: cerita itu, pula akan membunuh Anda
perlahan-lahan. Berhati-hatilah.
PotonganTerakhir
Apakah
cerpen-cerpen dalam cerita ini berhasil? CUKUP berhasil. Seluruh cerpen suda cukup
baik menggambarkan cerita, dan ada pesan yang mencuat pada akhirnya. Hanya
butuh proses bagi ketiga penulis untuk lebih mematangkan karyanya. Kali berikut, saya hakkul
yakin, tulisan-tulisan mereka bakal kaya warna, kuat, dan khas juga lumer dan
nikmat di benak pembaca.
Bedahan
ini sarat kritik yang mungkin berdarah-darah. Namun demikianlah peran pembedah,
haruslah amanah. Dilakukan sedaya mungkin. Setiap cerpen yang lahir, akan
bergenap dengan ruh, kemudian hidup sebagaimana insan. Maka manusiawilah jika
cerpen-cerpen di sini memiliki kekurangan juga kelebihan. Persisnya cokelat
yang manis dan (juga) pahit: Nikmat. Bukankah kenikmatan itu berbakal asal
paduan antara pahit dengan manis?
Salah satu
cokelat terbaik?
Atau salah satu
yang termahal?
Itu sulit
dibedakan.
Rasa cokelat sama
saja kukira, manis yang beradu pahit.
Lumer dan lengket
di mulut; meninggalkan jejak pekat. Apalagi?[14]
[1]Materi
dibawakan pada bedah buku kumpulan cerpen Sepotong
Cokelat dan cerita-cerita yang lain. Merupakan Rangkaian Musyawarah
Wilayah Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah
Sulawesi Selatan, di Aula Man Model Makassar, Sabtu, 30 Juni 2012.
[2]
Dewan Pertimbangan Organisasi FLP Wilayah Sulawesi Selatan.
[3]
Sastrawan Indonesia, penulis novel Burung-burung
Manyar.
[4]
Salah satu sastrawan legendaris terbaik dunia asalAmerika, peraih nobel sastra
tahun 1954. Menulis novel
dan cerpen. Sebelumnya adalah wartawan dan sukarelawan Perang Dunia I.
[5]
Terdapat dalam kumpulan cerpen The Fifth Column.
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Angkatan Kelima, oleh penerbit Pedati tahun 2003.
[6]
Salah satu penulis perempuan Indonesia pendiri Forum Lingkar Pena (FLP). Telah
menulis lebih dari 40 judul buku (solo dan antologi). Kerap diundang membawakan
materi dalam seminar penulisan dan keperempuanan.
[7]
Penyair
dan kritikus sastra Amerika. Dia adalah salah satu tokoh awal penyair
dengan bentuk dan gaya yang modern.
[8]
Sastrawan Indonesia penulis novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Karya-karyanya berupa novel dan cerpen dikenal luas sebagai
karya yang selalu mengusung tema lokal. Juga kesederhanaan para tokoh-tokohnya
dari kalangan menengah ke bawah.
[10]Ada
perbedaan antara kearifan lokal dengan warna lokal. Kearifan lokal dapat
diartikan sebagai pemaparan secara langsung atau tidak langsung nilai-nilai
filosofi yang menjadi ciri khas masyarakat etnis tertentu yang digambarkan
dalam tema dan atau setting cerpen atau novel, kearifan lokal bersifat
substantif. Sedang warna lokal berciri teknis, sedang
warna lokal adalah karakteristik lokal yang mengacu pada idiom-idiom etnis yang
sifatnya khas, seperti aksen daerah, dan istilah tertentu. Warna lokal bersifat
substantif.
[11]
Sastrawan Indonesia dan juga guru besar sejarah Universitas Gajah Mada
(1943-2005). Anjing-anjing Menyerbu
Kuburan terpilih sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1997.
[12]Cerpen
terbaik Umar Kayam. Cerpen ini diterbitkan dalam 13 bahasa lainnya dalam sebuah buku kumpulan cerpen. Diterbitkan oleh
Yayasan Obor Indonesia tahun 1999.
[13]
Cerpen ditulis oleh pembedah.
[14]
Cerpen Chocoholic, karya pembedah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar