Karya
sastra bukan hanya menyajikan ruang imajinasi, tetapi juga ruang-ruang lain
yang bersifat multidimensi. Sastra tentu tidak semata sebuah karya khayalan
atau fiktif oleh karena itu, dalam penciptaan karya sastra
kita menuliskan segala sesuatu tentang hidup ini dan selalu memberi manfaat yang
multidimensi. Pada umunya kita sepakat bahwa karya sastra mengandung
nilai-nilai moral, ada amanat yang hendak disuguhkan kepada pembaca. Pendapat
ini, secara tidak langsung hendak menempatkan karya sastra dalam posisi yang
tinggi.
‘Banun’, Sebuah judul cerpen yang unik, bahkan mungkin
hampir semua orang yang belum masuk dalam cerita akan mencoba menebak tentang
arti kata ‘Banun’, yang ternyata Banun sendiri berasal dari tokoh utama dalam
cerita. Bagi penulis sendiri, secara subjektif menganggap cerpen ini sebagai
cerpen pavorit. Selain alur cerita dan ending
cerita yang memukau, mungkin ada hubungannya dengan amanat dalam cerpen yang
bersentuhan langsung dengan keilmuan penulis sebagai mahasiswa pertanian.
Banun pada awal cerita akan mengundang kebencian
pembaca terhadap watak yang dimilikinya. Penulis cerpen ini, Damhuri Muhammad sengaja
menceritakan Banun sebagai orang yang pelit. Sebuah karakter
tokoh yang umumnya
dibenci para pembaca, hal ini dapat didapatkan pada paragraf.
Bila ada yang
bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang
menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa
sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun,
lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah
pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir”
di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon,
hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor
kekikiran Banun.
Selain itu pada awal cerita pembaca akan mengenal
seorang tokoh yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter Banun
yang diceritakan yaitu Palar. Palar dalam cerita “Banun” adalah seorang kaya
raya yang memiliki banyak harta. Dialah orang pertama yang memberikan gelar ke
pada Banun hingga sepanjang masa tuanya Banun dipanggil sebagai Banun kikir. Penulis
berhasil menggambarkan kekikiran Banun dalam cerita.
Hal yang menyentak dari cerpen yang diterbitkan pada
harian Kompas tahun 2010 ini adalah pengungkapan kisah Banun sejak awal yang
sekaligus menjadi penjelas tentang sikap Banun sebenarnya yang selama ini
dianggap sebagai orang kikir. Pada paragraf terakhir Damhuri Muhammad berhasil
menciptakan ending cerita yang manis.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu
julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku
sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita
lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Maka tak
akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah
mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur
pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan
teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara
bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar
Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah,
meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna
insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak
pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia
sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai
penghinaan pada jalan hidup orang tani.
Pada beberapa pengantar di atas
maka sebanarnya ada beberapa hal patut di perhatikan dalam cerpen ini, yang pertama
adalah amanat yang disampaikan oleh penulis. Amanat adalah hal wajib dalam
cerita. Dimana cerita pendek yang kadang menggantung pada akhir cerita menjadi
hal yang biasa, namun ending semacam ini
diangap berhasil jika penulis mampu meninggalkan amanat yang jelas. Cerpen “Banun”
memiliki keunggulan ini. Damhuri Muhammad betul-betul hebat dalam menyampaikan
amanat tanpa kesan menggurui sama sekali. Banun menggambarkan bagaimana seorang
insinyur pertanian tak bisa berbuat banyak tidak mempunyai lahan sekaligus
menyindir para lulusan pertanian yang sebenarnya tidak mempunyai niat sama
sekali untuk mengembangkan kemampuan dan keilmuan mereka dalam bidang pertanian
. Hal ini termaktub dalam sebuah kalimat halus di atas.
Cerpen yang dapat kita nikmati pada
www.lakonhidup.wordpres.com
ini sangat patut diberikan apresiasi yang menurut subjektif penyulis sendiri
memiliki ketajaman kritik serupa cerpen yang sangat tenar “Robohnya Surau Kami”
karangan AA Nafis. “Robohnya Surau Kami” sukses dalam menggambarkan bagaimana
perubahan makna dalam hal keagamaan sedangkan cerpen “Banun” berhasil memberi
pencerahan pada segi pemikiran bermasyarakat dalam hal ini memberi kritik keras
pada para masyarakat tani dan sarjana pertanian.
Munculnya
cerpen “Banun” yang memberikan kritik secara lugas kepada para sarjana pertanian
menjadi satu bukti lagi bahwa memang sastra memberikan manfaat dalam berbagai
dimensi kehidupan. Kita menantikan karya-karya baru yang mencerahkan, serupa
cerpen ini. Dan diharapkan tidak hanya memberi kritik pada satu bidang profesi
dan potret sosial namun merambah ke semua rana kehidupan. Demi pena dan apa
yang dituliskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar