Sabtu, 28 Juli 2012

Belajar Sastra dalam Cerpen Banun


Karya sastra bukan hanya menyajikan ruang imajinasi, tetapi juga ruang-ruang lain yang bersifat multidimensi. Sastra tentu tidak semata sebuah karya khayalan atau fiktif oleh karena itu, dalam penciptaan karya sastra kita menuliskan segala sesuatu tentang hidup ini dan selalu memberi manfaat yang multidimensi. Pada umunya kita sepakat bahwa karya sastra mengandung nilai-nilai moral, ada amanat yang hendak disuguhkan kepada pembaca. Pendapat ini, secara tidak langsung hendak menempatkan karya sastra dalam posisi yang tinggi.
‘Banun’, Sebuah judul cerpen yang unik, bahkan mungkin hampir semua orang yang belum masuk dalam cerita akan mencoba menebak tentang arti kata ‘Banun’, yang ternyata Banun sendiri berasal dari tokoh utama dalam cerita. Bagi penulis sendiri, secara subjektif menganggap cerpen ini sebagai cerpen pavorit. Selain alur cerita dan ending cerita yang memukau, mungkin ada hubungannya dengan amanat dalam cerpen yang bersentuhan langsung dengan keilmuan penulis sebagai mahasiswa pertanian.
Banun pada awal cerita akan mengundang kebencian pembaca terhadap watak yang dimilikinya. Penulis cerpen ini, Damhuri Muhammad sengaja menceritakan Banun sebagai orang yang pelit. Sebuah karakter
tokoh yang umumnya dibenci para pembaca, hal ini dapat didapatkan pada paragraf.
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Selain itu pada awal cerita pembaca akan mengenal seorang tokoh yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter Banun yang diceritakan yaitu Palar. Palar dalam cerita “Banun” adalah seorang kaya raya yang memiliki banyak harta. Dialah orang pertama yang memberikan gelar ke pada Banun hingga sepanjang masa tuanya Banun dipanggil sebagai Banun kikir. Penulis berhasil menggambarkan kekikiran Banun dalam cerita.
Hal yang menyentak dari cerpen yang diterbitkan pada harian Kompas tahun 2010 ini adalah pengungkapan kisah Banun sejak awal yang sekaligus menjadi penjelas tentang sikap Banun sebenarnya yang selama ini dianggap sebagai orang kikir. Pada paragraf terakhir Damhuri Muhammad berhasil menciptakan ending cerita yang manis.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Maka tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.

Pada beberapa pengantar di atas maka sebanarnya ada beberapa hal patut di perhatikan dalam cerpen ini, yang pertama adalah amanat yang disampaikan oleh penulis. Amanat adalah hal wajib dalam cerita. Dimana cerita pendek yang kadang menggantung pada akhir cerita menjadi hal yang biasa, namun ending semacam ini diangap berhasil jika penulis mampu meninggalkan amanat yang jelas. Cerpen “Banun” memiliki keunggulan ini. Damhuri Muhammad betul-betul hebat dalam menyampaikan amanat tanpa kesan menggurui sama sekali. Banun menggambarkan bagaimana seorang insinyur pertanian tak bisa berbuat banyak tidak mempunyai lahan sekaligus menyindir para lulusan pertanian yang sebenarnya tidak mempunyai niat sama sekali untuk mengembangkan kemampuan dan keilmuan mereka dalam bidang pertanian . Hal ini termaktub dalam sebuah kalimat halus di atas.
Cerpen yang dapat kita nikmati pada www.lakonhidup.wordpres.com ini sangat patut diberikan apresiasi yang menurut subjektif penyulis sendiri memiliki ketajaman kritik serupa cerpen yang sangat tenar “Robohnya Surau Kami” karangan AA Nafis. “Robohnya Surau Kami” sukses dalam menggambarkan bagaimana perubahan makna dalam hal keagamaan sedangkan cerpen “Banun” berhasil memberi pencerahan pada segi pemikiran bermasyarakat dalam hal ini memberi kritik keras pada para masyarakat tani dan sarjana pertanian.
Munculnya cerpen “Banun” yang memberikan kritik secara lugas kepada para sarjana pertanian menjadi satu bukti lagi bahwa memang sastra memberikan manfaat dalam berbagai dimensi kehidupan. Kita menantikan karya-karya baru yang mencerahkan, serupa cerpen ini. Dan diharapkan tidak hanya memberi kritik pada satu bidang profesi dan potret sosial namun merambah ke semua rana kehidupan. Demi pena dan apa yang dituliskannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar