Senin, 30 Juli 2012

Menelepon Ibu


Bus melaju tidak begitu cepat. Rumah yang dilalui tak begitu beragam. Hampir semua desain dan ukuran rumah sama. Terlihat dari kaca jendela minimarket-minimarket berukuran sederhana, sementara pagar-pagar rumah kelihatan berwarna cokelat bertanda pagar itu sudah lawas. Bunyi kereta turut berirama dalam menemani kesunyian sore.
Orimasho, kita sampai pada sebuah apartemen berukuran tak terlalu besar. Ehime University International House, sebuah apartemen yang khusus disediakn untuk mahasiswa asing yang sedang menjalankan studi di Ehime University, tepatnya di jalan Takanoko Co 40, kota Matsuyama, sekitar 30 menit dari kampus Ehime University di Tarumi .
            Pada halaman depan sama sekali tak tersedia taman seperti biasa yang dihuni banyak rerumputan hijau kecuali beberapa sepeda yang kini terparkir di dekat sebuah box telepon umum. Beberapa meter dari
apartemen terlihat buah Nasi yang kini berguguran daunnya, setelah musim gugur mendekati akhir babak tinggal buahnya yang berwarna kuning yang akan tersisa, sungguh menarik nafsu untuk segera melahapnya.
            Osozawa sensei menghampiri, sama sekali belum ada perubahan setelah pertemuan kami di Indonesia sebelumnya. “Ayo cepat-cepat taruh tas kalian” ucapnya dalam bahasa indonesia yang fasih. belum ada waktu istrahat kami harus segera kuliah. Setelah tas di taruh maka langsung ke bus. Semua bergegas. Seorang wanita yang selanjutnya kami kenal sebagai kak Anes mengantarkan kami ke kamar masing-masing. Nomor kamarku di 105 lantai bawah single room. Fadli berada di family room bersama tiga mahasiswa GDP lainnya dari IPB, UGM, dan Unhas.
            Suasana kamar yang terkesan  menyenangkan. Sebuah ranjang tidur dengan kasur yang tebal, kulkas, mikrowafe, mesin cuci, lemari, meja belajar, kamar mandi dengan kelengkapan berendam dan fasilitas air hangat semua tersedia, lengkap dengan dapur beserta peralatan masak yang memadai. Sementara untuk air minum kita hanya butuh mengambil di keran karena semua air yang mengalir ke rumah warga telah di periksa dan semua layak untuk langsung diminum, semua air bebas dari ecoli dan bakteri berbahaya lainnya.
            Pukul 16.00. belum juga menenangkan diri, kami harus segera berangkat lagi, menuju bangku perkuliahan. Belajar tentang materi pulau-pulau terluar di Matsuyama, tempat lokasi KKN kami akan berlangsung. Ozosawa Sensei sengaja memilih hari ini untuk mendengar materi tentang pulau tersebut karena dosen yang bersangkutan tak mempunyai waktu banyak untuk menetap di Matsuyama.
            Setelah dari kampus, kami kemudian ke rumah Osozawa Sensei untuk santap malam. Disana ada beberapa teman yang telah melaksanakan KKN di Makassar yang sudah menunggu kedatangan kami. Seperti makanan sebelumnya, kami belum terbiasa dengan hidangan masakan ala Jepang yang rasanya masih belum bisa kompromi dengan lidah kami, pun demikian, Ikan bakar dan sayur bening dengan bumbu jepang yang bearoma aneh karena kuahnya dari Ikan juga tetap kami makan, tentunya dengan Ekspresi orang yang amat bernafsu, diakhir makan malam kami membuat onogiri untuk makan pagi, esoknya. Hari yang melelahkan.
*
            Selepas melahap sepotong onogiri bergegas saya menuju box telepon yang tepat berada di tempat parkir. Di dalam box sudah terpampan jelas tentang tata cara untuk menelepon ke luar negeri. Untuk menelepon ke Indonesia dikenakan biaya minimal 200 yen. Waktunya kira-kira sekitar 30 detik kalau  tak ditombok, omongan akan berhenti di tengah jalan. Karena hapeku baru saja hilang dari perjalanan kemarin maka tak ada cara lain untuk menelepon kecuali mengingat nomor mama.
            Mungkin disbanding semua peserta KKN dan GDP, sayalah orang yang paling sibuk mengurusi diri untuk segera memberi kabar kepada orang tua. Ada sedikit kewajiban yang kurasakan membebani ketika tak menghubungi/dihubungi ibu dalam sehari.
            Pernah sekali aku protes kepada ibu ketika memberikan aturan wajib lapor padanya. Saat itu ikhwal berada di Makassar untuk memulai perkuliahan. Aku tak terima tentunya, serupa anak mami saja, ungkapku menyalahkan mama. berhasil saat itu mama hanya menghubungiku 2-3 kali dalam sepekan. Namun beberapa bulan kemudian ibu kembali menghubungiku setiap hari, saat itu mama terjatuh sakit, mag akut, rematik, dan penyakit uluhati kembali bercokol dalam dirinya. Tentunya penyakit itu mengkhawatirtkan bahkan salah seorang kerabat di desa meninggal pada usia muda karena mengidap penyakit dengan gejala yang mirip dengan ibu. Aku tak kuat, saat itu gentian saya yang menelepon ibu pagi dan petang untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Setelah kembali menjenguk mama di kampong kulihat wajah mama,wajahnya semakin menua, Urat di wajahnya kini semakin terang, badannya semakin melorot dan semakin mengurus. Lahir segala rasa takut kehilangan mama saat itu, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon mama tiap hari, aku tahu bahwa kelak suatu saat suara itulah yang akan aku rindukan. Selepas itu tak pernah ada alasan untuk mengabaikan telepon mama pun dalam keadaan memimpin rapat organisasi harus ada waktu untuk bercakap dengan ibu. Sebenarnya bukan hanya untuk aku tetapi semua anak yang memiliki ibu yang masih hidup di dunia ini akan mencari suara ibunya kelak yang sekedar berbasa-basi menelepon anaknya hanya untuk memestikan anaknya kini tengah baik-baik saja.
            Teringat juga ketika ibu harus menelepon salah seorang staf pegawai di rektorat Universitas Hasanuddin untuk menanyakan kabarku. Padahal kejadiannya amat sederhana, ketika aku kembali dari luar kota dan ketiduran hingga jam 10 pagi sementara hapeku dalam keadaan non aktif. ibu sudah menangis, terpaut takut sesuatu terjadi padaku. Saat itu aku mahfum, seorang ibu itu amat khawatir kepada anaknya, tapi sudahkah seorang anak sekhawaatir itu kepada ibunya?.
            Kumasukkan uang 200 yen, uang peberian dari Agnes Sensei yang sengaja diberikan kepada kami mahasiswa Unhas, Memang tak seberapa tapi Sensei mengarahkan jika suatu saat uang itu akan dipergunakan untuk membeli minuman dan keperluan lain. sementara uang senilai 20000 yen sengaja dipinjamkan kepada kami untuk biaya hidup sementara sebelum uang beasiswa dari jepang cair.
            Ibu, saya sudah sampai di jepang dengan selamat. Hanya kabar itu yang diperlukan oleh ibu.
*
            Usai mandi dengan air hangat pagi ini, kami bergegas ke kampus untuk opening ceremony dan pengenalan kampus ehime university. Setiap peserta diberi sebuah sepeda untuk digunakan hingga kembali ke indonesia nantinya, Nurul dan Mas Agus mahasiswa pasca sarjana dari IPB belum kebagian sepeda akhirnya harus mengandarai bus ke kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar