Bus
melaju tidak begitu cepat. Rumah yang dilalui tak begitu beragam.
Hampir semua desain dan ukuran rumah sama. Terlihat dari kaca jendela
minimarket-minimarket berukuran sederhana, sementara pagar-pagar rumah
kelihatan berwarna cokelat bertanda pagar itu sudah lawas. Bunyi kereta turut
berirama dalam menemani kesunyian sore.
Orimasho,
kita sampai pada sebuah apartemen berukuran tak terlalu besar. Ehime University
International House, sebuah apartemen yang khusus disediakn untuk mahasiswa
asing yang sedang menjalankan studi di Ehime University, tepatnya di jalan Takanoko Co 40, kota
Matsuyama, sekitar 30 menit dari kampus Ehime University di Tarumi .
Pada halaman depan sama sekali tak
tersedia taman seperti biasa yang dihuni banyak rerumputan hijau kecuali
beberapa sepeda yang kini terparkir di dekat sebuah box telepon umum. Beberapa
meter dari
apartemen terlihat buah Nasi yang
kini berguguran daunnya, setelah musim gugur mendekati akhir babak tinggal
buahnya yang berwarna kuning yang akan tersisa, sungguh menarik nafsu untuk
segera melahapnya.
Osozawa sensei menghampiri, sama
sekali belum ada perubahan setelah pertemuan kami di Indonesia sebelumnya. “Ayo
cepat-cepat taruh tas kalian” ucapnya dalam bahasa indonesia yang fasih. belum ada waktu
istrahat kami harus segera kuliah. Setelah tas di taruh maka langsung ke bus.
Semua bergegas. Seorang wanita yang selanjutnya kami kenal sebagai kak Anes mengantarkan
kami ke kamar masing-masing. Nomor kamarku di 105 lantai bawah single room.
Fadli berada di family room bersama tiga mahasiswa GDP lainnya dari IPB, UGM,
dan Unhas.
Suasana kamar yang terkesan menyenangkan.
Sebuah ranjang tidur dengan kasur yang tebal, kulkas, mikrowafe, mesin cuci,
lemari, meja belajar, kamar mandi dengan kelengkapan berendam dan fasilitas air
hangat semua tersedia, lengkap dengan dapur beserta peralatan masak yang
memadai. Sementara untuk air minum kita hanya butuh mengambil di keran karena
semua air yang mengalir ke rumah warga telah di periksa dan semua layak untuk
langsung diminum, semua air bebas dari ecoli dan bakteri berbahaya lainnya.
Pukul 16.00. belum juga menenangkan
diri, kami harus segera berangkat lagi, menuju bangku perkuliahan. Belajar
tentang materi pulau-pulau terluar di Matsuyama, tempat lokasi KKN kami akan berlangsung.
Ozosawa Sensei sengaja memilih hari ini untuk mendengar materi tentang pulau
tersebut karena dosen yang bersangkutan tak mempunyai waktu banyak untuk
menetap di Matsuyama.
Setelah dari kampus, kami kemudian
ke rumah Osozawa Sensei untuk santap malam. Disana ada beberapa teman yang
telah melaksanakan KKN di Makassar yang sudah menunggu kedatangan kami. Seperti
makanan sebelumnya, kami belum terbiasa dengan hidangan masakan ala Jepang yang
rasanya masih belum bisa kompromi dengan lidah kami, pun demikian, Ikan bakar
dan sayur bening dengan bumbu jepang yang bearoma aneh karena kuahnya dari Ikan
juga tetap kami makan, tentunya dengan Ekspresi orang yang amat bernafsu,
diakhir makan malam kami membuat onogiri
untuk makan pagi, esoknya. Hari yang melelahkan.
*
Selepas melahap sepotong onogiri bergegas saya menuju box telepon yang tepat berada di
tempat parkir. Di dalam box sudah terpampan jelas tentang tata cara untuk menelepon
ke luar negeri. Untuk menelepon ke Indonesia dikenakan biaya minimal 200 yen. Waktunya
kira-kira sekitar 30 detik kalau tak
ditombok, omongan akan berhenti di tengah jalan. Karena hapeku baru saja hilang
dari perjalanan kemarin maka tak ada cara lain untuk menelepon kecuali mengingat
nomor mama.
Mungkin disbanding semua peserta KKN
dan GDP, sayalah orang yang paling sibuk mengurusi diri untuk segera memberi
kabar kepada orang tua. Ada sedikit kewajiban yang kurasakan membebani ketika
tak menghubungi/dihubungi ibu dalam sehari.
Pernah sekali aku protes kepada ibu
ketika memberikan aturan wajib lapor padanya. Saat itu ikhwal berada di Makassar untuk memulai perkuliahan. Aku tak terima tentunya,
serupa anak mami saja, ungkapku menyalahkan mama. berhasil saat itu mama hanya
menghubungiku 2-3 kali dalam sepekan. Namun beberapa bulan kemudian ibu
kembali menghubungiku setiap hari, saat itu mama terjatuh sakit, mag akut,
rematik, dan penyakit uluhati kembali bercokol dalam dirinya. Tentunya penyakit
itu mengkhawatirtkan bahkan salah seorang kerabat di desa meninggal pada usia
muda karena mengidap penyakit dengan gejala yang mirip dengan ibu. Aku tak kuat,
saat itu gentian saya yang menelepon ibu pagi dan petang untuk memastikan
keadaannya baik-baik saja. Setelah kembali menjenguk mama di kampong kulihat
wajah mama,wajahnya semakin menua, Urat di wajahnya kini semakin terang,
badannya semakin melorot dan semakin mengurus. Lahir segala rasa takut kehilangan
mama saat itu, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon mama tiap hari, aku tahu
bahwa kelak suatu saat suara itulah yang akan aku rindukan. Selepas itu
tak pernah ada alasan untuk mengabaikan telepon mama pun dalam keadaan memimpin
rapat organisasi harus ada waktu untuk bercakap dengan ibu. Sebenarnya bukan hanya untuk aku tetapi semua anak yang memiliki
ibu yang masih hidup di dunia ini akan mencari suara ibunya kelak yang sekedar
berbasa-basi menelepon anaknya hanya untuk memestikan anaknya kini tengah
baik-baik saja.
Teringat juga ketika ibu harus
menelepon salah seorang staf pegawai di rektorat Universitas Hasanuddin untuk
menanyakan kabarku. Padahal kejadiannya amat sederhana, ketika aku kembali dari luar
kota dan ketiduran hingga jam 10 pagi sementara hapeku dalam keadaan non aktif. ibu sudah menangis, terpaut takut sesuatu terjadi padaku. Saat itu aku mahfum, seorang
ibu itu amat khawatir kepada anaknya, tapi sudahkah seorang anak sekhawaatir itu
kepada ibunya?.
Kumasukkan uang 200 yen, uang
peberian dari Agnes Sensei yang sengaja diberikan kepada kami mahasiswa Unhas,
Memang tak seberapa tapi Sensei mengarahkan jika suatu saat uang itu akan
dipergunakan untuk membeli minuman dan keperluan lain. sementara uang senilai
20000 yen sengaja dipinjamkan kepada kami untuk biaya hidup sementara
sebelum uang beasiswa dari jepang cair.
Ibu, saya sudah sampai di jepang
dengan selamat. Hanya kabar itu yang diperlukan oleh ibu.
*
Usai mandi dengan air hangat pagi ini,
kami bergegas ke kampus untuk opening ceremony dan pengenalan kampus ehime
university. Setiap peserta diberi sebuah sepeda untuk digunakan hingga kembali ke
indonesia nantinya, Nurul dan Mas Agus mahasiswa pasca sarjana dari IPB belum
kebagian sepeda akhirnya harus mengandarai bus ke kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar