Di Bandara
Sultan hasanuddin Makassar.
Kutatap
wajah ibu untuk kesekian kalinya. Rasa gelisah itu belum juga berkurang,
tepatnya semakin memuncak. Belum ada juga obat yang mampu membendung rasa
khawatirnya, padahal beberapa saat pada pengalaman sebelumnya ibu akan tenang
setelah kuperkenalkan beberapa teman, aku tak sendiri ibu. Maka ibu akan berbesar
hati, yakin kalau aku baik-baik saja. Ternyata ibu kali ini sungguh khawatir,
apalagi mengantar anaknya bepergian ke luar negeri untuk pertama kalinya.
Ibu
kelihatan tak focus. Gelisah masih kuat mengarca pada gurat wajahnya, meski
pada sekian kali ia bersuara untuk berbasa basi kepada Ibu Nurul, orang tua
yang turut mengantar anaknya pada sebuah
momen yang kuanggap bersejarah dalam
hidupku ini.
“Anak ibu
berapa?”
“Adi, Sendiri
bu, tak punya saudara”
****
Ibu adalah manusia berteman air
mata. Buktinya tak hanya ibuku yang merasakan hal yang sama. Sebelum ibuku
lebih dulu menitikkan air mata haru dan takut berpisah dalam kurun waktu yang
cukup lama. Ibu Fadli sudah membilas air matanya dengan air mata yang baru.
“Kamu baik-baiuk
disana ya Nak”.
Fadli
diam. Selaksa rasa menyalahkan ibunya kutengarai muncul dari mimik raganya. Seorang
ibu tak seharusnya berair mata pada saat seperti ini, gelisah itu terlalu jika
harus berair mata. Amat jelas, kegiatan ini adalah sebuah aktivitas yang akan
menguntungkan dengan perlindungan penuh dari Universitas. Sementara pergolakan
batin untuk menjamu teman-temannya yang turut menyambangi menjelang keberangkatannya
kini berbuah dilema, apakah ia harus bersedih menanggapi ibunya yang kini
berair mata atau atau bersantai ria di hadapan teman temannya yang sudah rela
menyediakan waktu untuk mengantarnya ke bandara.
Raut
ekspresi lain terpancarkan berbeda pada Wajah Nurul dan Puput. Kedua orang
tuanya berteman ekspresi bangga, anak-anaknya telah tumbuh menjadi anak yang
patut di acungi jempol. Melaksanakan KKN ke luar negeri itu bukan hal yang bisa
diraih begitu saja bukan?, butuh akademik yang mantap untuk bisa melangkahkan
kaki ke sana. Wajah kedua orang tua puput amat santai, sangat wajar, sebelum
Puput anaknya yang pertama telah menyambangi jepang juga dalam rangka kegiatan studi
di Universitas Hasanuddin.
Sejarak
ibu Fadli mendekat kepadaku.
Tak perlu banyak basa-basi untuk mendekatkan
emosi antara kami. Tepat saja ia mendekapku, kubaca gerak itu, sebuah gerak
harapan dari seorang ibu, faham betul. Segenggam harap telah muncul untuk
selalu bersama Fadli. Psikologi antara ibu fadli dan ibuku mungkin sama, mereka
sama sama mempunyai anak semata wayang, makanya ia akan senang jika anaknya
mempunyai teman yang selalu membersamainya.
“Jaga
diri ya nak, selalu ingat kepada Allah”
Ku
dekap tubuh ibu, memeluk dan menciuminya. Setelah itu hal yang sama pun
kulaksanakan kepada Ayah. pamit dan memohon doanya.
Kulihat
wajah sepupuku yang turut mengantar. Semoga ia bisa mengantarkan ibu hingga ke
terminal malengkeri dengan baik-baik. Fadli, Nurul, Puput, dan saya kini harus
mempercepat langkah menuju ruang tunggu bandara. Aku hanya menatap wajah ibu
tak bisa kupastikan matanya tak mengeluarkan bening air. Sementara wajah
bertemankan lelah karena perjalanan jauh dari Bulukumba.
“jangan
Lupa menelepon ya Nak, kalau sudah tiba”
“Iya
bu, saya Usahakan”.
Banyak senyum
yang mengantar kami, teman-teman dari Sosek pertanian Unhas, teman-teman dari
Identitas, dan beberapa kerabat dari kami berempat. Berteman doa mereka kami
yakin, Besok kami akan tiba di Jepang dengan selamat
Ceritanya bagus
BalasHapus