Sabtu, 28 Juli 2012

Haru & Gelisah di Mata Para Ibu



Di Bandara Sultan hasanuddin Makassar.
Kutatap wajah ibu untuk kesekian kalinya. Rasa gelisah itu belum juga berkurang, tepatnya semakin memuncak. Belum ada juga obat yang mampu membendung rasa khawatirnya, padahal beberapa saat pada pengalaman sebelumnya ibu akan tenang setelah kuperkenalkan beberapa teman, aku tak sendiri ibu. Maka ibu akan berbesar hati, yakin kalau aku baik-baik saja. Ternyata ibu kali ini sungguh khawatir, apalagi mengantar anaknya bepergian ke luar negeri untuk pertama kalinya.
Ibu kelihatan tak focus. Gelisah masih kuat mengarca pada gurat wajahnya, meski pada sekian kali ia bersuara untuk berbasa basi kepada Ibu Nurul, orang tua yang turut mengantar anaknya pada sebuah
momen yang kuanggap bersejarah dalam hidupku ini.
“Anak ibu berapa?”
“Adi, Sendiri bu, tak punya saudara”
****
            Ibu adalah manusia berteman air mata. Buktinya tak hanya ibuku yang merasakan hal yang sama. Sebelum ibuku lebih dulu menitikkan air mata haru dan takut berpisah dalam kurun waktu yang cukup lama. Ibu Fadli sudah membilas air matanya dengan air mata yang baru.
“Kamu baik-baiuk disana ya Nak”.
Fadli diam. Selaksa rasa menyalahkan ibunya kutengarai muncul dari mimik raganya. Seorang ibu tak seharusnya berair mata pada saat seperti ini, gelisah itu terlalu jika harus berair mata. Amat jelas, kegiatan ini adalah sebuah aktivitas yang akan menguntungkan dengan perlindungan penuh dari Universitas. Sementara pergolakan batin untuk menjamu teman-temannya yang turut menyambangi menjelang keberangkatannya kini berbuah dilema, apakah ia harus bersedih menanggapi ibunya yang kini berair mata atau atau bersantai ria di hadapan teman temannya yang sudah rela menyediakan waktu untuk mengantarnya ke bandara.
Raut ekspresi lain terpancarkan berbeda pada Wajah Nurul dan Puput. Kedua orang tuanya berteman ekspresi bangga, anak-anaknya telah tumbuh menjadi anak yang patut di acungi jempol. Melaksanakan KKN ke luar negeri itu bukan hal yang bisa diraih begitu saja bukan?, butuh akademik yang mantap untuk bisa melangkahkan kaki ke sana. Wajah kedua orang tua puput amat santai, sangat wajar, sebelum Puput anaknya yang pertama telah menyambangi jepang juga dalam rangka kegiatan studi di Universitas Hasanuddin.
Sejarak ibu Fadli mendekat kepadaku.
 Tak perlu banyak basa-basi untuk mendekatkan emosi antara kami. Tepat saja ia mendekapku, kubaca gerak itu, sebuah gerak harapan dari seorang ibu, faham betul. Segenggam harap telah muncul untuk selalu bersama Fadli. Psikologi antara ibu fadli dan ibuku mungkin sama, mereka sama sama mempunyai anak semata wayang, makanya ia akan senang jika anaknya mempunyai teman yang selalu membersamainya.
“Jaga diri ya nak, selalu ingat kepada Allah”
Ku dekap tubuh ibu, memeluk dan menciuminya. Setelah itu hal yang sama pun kulaksanakan kepada Ayah. pamit dan memohon doanya.
Kulihat wajah sepupuku yang turut mengantar. Semoga ia bisa mengantarkan ibu hingga ke terminal malengkeri dengan baik-baik. Fadli, Nurul, Puput, dan saya kini harus mempercepat langkah menuju ruang tunggu bandara. Aku hanya menatap wajah ibu tak bisa kupastikan matanya tak mengeluarkan bening air. Sementara wajah bertemankan lelah karena perjalanan jauh dari Bulukumba.
“jangan Lupa menelepon ya Nak, kalau sudah tiba”
“Iya bu, saya Usahakan”.
Banyak senyum yang mengantar kami, teman-teman dari Sosek pertanian Unhas, teman-teman dari Identitas, dan beberapa kerabat dari kami berempat. Berteman doa mereka kami yakin, Besok kami akan tiba di Jepang dengan selamat
           

1 komentar: