Oleh : Supriadi Herman
Perempuan
itu terus menatap bulan dengan tatapan kosong pada jendela dengan sederet bambu
potong yang menopang. Sekilas pandangannya ia alihkan ke wajah seorang
perempuan muda di sekitar pembaringannya. Setitik air mata pun tak berniat iya
keluarkan jika menatap wajah cucunya, seakan jelas jika ia berairmata berarti
benci akan kembali hadir terhadap anaknya dan juga dirinya sendiri.
Perempuan
muda itu, cucunya. wanita yang kini sudah bersuami pada usianya yang belum
genap delapan belas tahun. Dengan kepala
terbenam ke bantal dan matanya masih tampak belum terpejam
sepenuhnya kini berbaring
sendiri tanpa suami yang telah lama ia pacari namun putus lantaran kawin lari
dengan perempuan lain. Sebelah punggungnya kini penuh memar luka-luka, yang
sebelah lagi terbuka tanpa penutup kecuali sehelai sarung tipis sementara
perutnya kini seakan menyimpan beban.
Mencari
cerutunya. wanita itu, nenek tua, beralih ke pintu dekat tangga untuk menatap bulan
lebih lama. Ingatannya tiba pada suatu pagi yang membuat segala harapan terhadap
cucunya pupus tak terisa apa-apa kecuali sebuah harapan kecil untuk tetap hidup
bersama.
*
Dengan
segala air mata penyesalan. Wanita itu perempuan muda datang dengan beberapa tetes
keringat yang sempurna bercampur air mata. Tak kuat berkata-kata di depan wanita
tua ia hanya tertunduk , menggigit
bibirnya supaya perlahan suara dari isakannya tak semakin besar. Wanita itu,
nenek tua, dengan beberapa campuran rasa mengelus rambut cucunya sengaja
membiarkan wanita muda itu mengangkat bahu
dan memperlihatkan wajahnya dan Sesaat pada wajah wanita muda itu muncul rasa
terkejut, kebencian dating menghentak pada si nenek tua. Perempuan itu, nenek
tua menamparnya tiba-tiba dan pergi tanpa sepatah kata pun, Kecuali mengulas
perbuatannya dengan segala gerak rasa kecewa terhadap cucunya.
Seperti
halnya perempuan-perempuan lain yang selalu memiliki cara tersendiri dalam
meminta maaf, wanita muda itu, cucu mengejar wanita tua itu dengan isakan yang
semakin mengeras. Merengek di kaki wanita itu, lalu membiarkan badannya
bergerak seirama dengan segala kekesalan yang dimiliki. Sang nenek dengan semua
gerak yang memaksa perempuan muda itu melepas pegangan pada kedua kaki itu.
“Kau bukan cucuku
lagi”.
“Lalu aku punya
siapa lagi nek, aku tak punya siapa-siapa selain nenek ?”,
“Hei kau punya
lelaki yang akan datang membawakan banyak cinta bukan?, itu kan maumu?”.
“Nenek, saya
menyesal. Lelaki itu ternyata biadab”.
“Hei, terlalu
cepat cintamu berlalu bodoh, ini baru bulan ke tiga kau kawin lari dengannya”.
Menendang wanita
muda itu dan berlalu dengan amat cepat menghindari beberapa pasang mata yang
melihatnya.
Wanita
muda itu. Tak kenal menyerah untuk membujuk hati neneknya. Hingga malam datang.
Ia mendaki tangga reok di rumah wanita tua itu. Di seberang pintu ia mengetuk
dengan amat lembut.
“Nek. Tolong
buka pintunya nek. Ini cucumu”. Masih dengan air mata yang terus mengucur
membasuh muka halusnya
Sedikit
membiarkan nafasnya berjalan lancar. Nenek itu menyahut.
“Saya tidak
punya cucu lagi”.
“Nenek ini
cucumu. Daeng Kebo”.
Nenek
itu menahan suaranya. Naluri untuk memaafkan tiba-tiba muncul sepintas
mendengar nama itu. Nama itu adalah pemberiannya. Membayang betapa besar harapan yang ia titipkan
pada nama itu. Kebo dalam bahasa Makassar berarti putih. Ia mengharapkan
cucunya tumbuh menjadi wanita suci yang bisa menjaga harga diri.
Tak
tahan menunggu lama-lama wanita itu. Membuka pintunya dan mendekap cucunya. Tangan
lembut itu kembali mengelus rambut keriting cucunya. “Masuklah cucuku!”.
Dengan
segala harap ampunan, merintih, Daeng Kebo menciumi kaki wanita tua yang
membesarkannya itu.
“Sudahlah. Lupakan
semua dosamu”. Wanita tua itu berusaha menenangkan.
Tetapi
Daeng Kebo. Yang dipanggil Rika disekolahan. Hanya menangis, dan membisik
tentang dirinya yang tengah berbadan dua.
Tentang
semua hal yang belum pernah ia perdengarkan sama sekali kepada cucunya kemudian
harus diceritakan pada malam itu. Segala rahasia tentang wanita yang melahirkan
Rika, Intang. Yang selama ini selalu dikisahkan mati dalam cerita Nenek Bombong
ternyata harus diceritakan hidup pada malam ini.
“Ibumu
itu cantik Nak. Meskipun kuceritakan bahwa namanya Intang tetapi Panggilanku
padanya Daeng Malukmuk. Ia cantik. Separas dengan wajahmu. Tiba pagi ia pergi
meninggalkanmu. Katanya mencari ayahmu. Dan setelah itu sama sekali tak pernah
kudengar kabarnya sama sekali. Tapi Kuanggap saja dia sudah mati. Tentang
bagaimana kau lahir, ceritanya hampir sama dengan kejadian hari ini. Wanita di
rumah ini hanya datang berbadan dua, tanpa sekali pun ada seorang lelaki yang
membersamainya”.
Pelan. Daeng kebok
mulai mengangkat bicara.
“Lalu kakek pun
tak pernah ke rumah ini nek?”
“Sekali pun tak
pernah. Ia hanya menyimpan cintanya dalam perutku di tempat lain, setelah itu
pergi, tak pernah membersamaiku di rumah ini. Begitu pun tak pernah jelas ku
tahu bagaimana aku bisa lahir. Aku besar dan hari demi hari hanya menatap muka
seorang wanita. Dialah ibuku. Hari ini juga kau tahu mengapa kita hanya hidup
di rumah berukuran kecil. Di atas tebing, jauh dari masyarakat, karena di mata
mereka kita hanyala sampah yang mengundang murka Tuhan sesekali hadir di kampung
ini”.
selesai bercerita
wanita itu berhenti sejenak dan menangis sejadi jadinya.
“Kau tahu?, apa
harapanku padamu cucuku?”.
Daeng Kebo. Hanya
terdiam, membilas air matanya yang hampir kering dengan air mata baru.
“Aku ingin kau
menjadi wanita yang memutuskan semua cerita tentang keturunan kita dan kau bisa
menikah secara-baik baik serta membawa laki-laki yang bisa membopong kita
keluar dari nista ini”.
Semua hari-hari
seakan menjadi hijab untuk menutup diri. Esoknya dan esoknya lagi adalah
penantian dengan segenggam doa-doa, semoga anak yang lahir dari kandungan itu. Bukan
anak perempuan lagi.
*
Wanita tua itu
kembali menatap memar di punggung wanita itu. Masih berbekas jelas, sisa dari
kerjaannya setiap hari memikul bambu-bambu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesaat
ia terbangun dan mendongak seraya mengangkat ke dua tangannya pada pertengahan
malam.
“Tuhan, semoga
anakku bukan perempuan”.
“Tuhan, semoga
anakku bukan perempuan”
Mungkin doa itu,
bukan lagi miliknya tetapi hamper bagi semua orang yang tahu betapa susahnya
menjaga anak perempuan.
Wanita itu, Sang
nenek yang kini sedang berbaring mengaminkan doa itu. Dan sebelum menutup
matanya ia pun berdoa. Semoga anak itu bukan perempuan.
masih ada beberapa penulisan yang salah, kak...
BalasHapusTidak terlalu fatalji tp mengganggu mata saat membaca.
Tp ide cerita, oke bngt. Maaf doa sy lain, “Tuhan, semoga anakku perempuan.” hehehe
betul banget saya sadari kok,.. bahkan di semua tulisan di blog ini,.... makasih kritiknya,..
Hapus