Jumat, 27 Juli 2012

TUHAN, SEMOGA ANAKKU BUKAN PEREMPUAN


Oleh : Supriadi Herman
Perempuan itu terus menatap bulan dengan tatapan kosong pada jendela dengan sederet bambu potong yang menopang. Sekilas pandangannya ia alihkan ke wajah seorang perempuan muda di sekitar pembaringannya. Setitik air mata pun tak berniat iya keluarkan jika menatap wajah cucunya, seakan jelas jika ia berairmata berarti benci akan kembali hadir terhadap anaknya dan juga dirinya sendiri.
Perempuan muda itu, cucunya. wanita yang kini sudah bersuami pada usianya yang belum genap delapan belas tahun.  Dengan kepala terbenam ke bantal dan matanya masih tampak belum terpejam
sepenuhnya kini berbaring sendiri tanpa suami yang telah lama ia pacari namun putus lantaran kawin lari dengan perempuan lain. Sebelah punggungnya kini penuh memar luka-luka, yang sebelah lagi terbuka tanpa penutup kecuali sehelai sarung tipis sementara perutnya kini seakan menyimpan beban.
Mencari cerutunya. wanita itu, nenek tua, beralih ke pintu dekat tangga untuk menatap bulan lebih lama. Ingatannya tiba pada suatu pagi yang membuat segala harapan terhadap cucunya pupus tak terisa apa-apa kecuali sebuah harapan kecil untuk tetap hidup bersama.
*
Dengan segala air mata penyesalan. Wanita itu perempuan muda datang dengan beberapa tetes keringat yang sempurna bercampur air mata. Tak kuat berkata-kata di depan wanita tua  ia hanya tertunduk , menggigit bibirnya supaya perlahan suara dari isakannya tak semakin besar. Wanita itu, nenek tua, dengan beberapa campuran rasa mengelus rambut cucunya sengaja membiarkan wanita muda itu  mengangkat bahu dan memperlihatkan wajahnya dan Sesaat pada wajah wanita muda itu muncul rasa terkejut, kebencian dating menghentak pada si nenek tua. Perempuan itu, nenek tua menamparnya tiba-tiba dan pergi tanpa sepatah kata pun, Kecuali mengulas perbuatannya dengan segala gerak rasa kecewa terhadap cucunya.
Seperti halnya perempuan-perempuan lain yang selalu memiliki cara tersendiri dalam meminta maaf, wanita muda itu, cucu mengejar wanita tua itu dengan isakan yang semakin mengeras. Merengek di kaki wanita itu, lalu membiarkan badannya bergerak seirama dengan segala kekesalan yang dimiliki. Sang nenek dengan semua gerak yang memaksa perempuan muda itu melepas pegangan pada kedua kaki itu.
“Kau bukan cucuku lagi”.
“Lalu aku punya siapa lagi nek, aku tak punya siapa-siapa selain nenek ?”,
“Hei kau punya lelaki yang akan datang membawakan banyak cinta bukan?, itu kan maumu?”.
“Nenek, saya menyesal. Lelaki itu ternyata biadab”.
“Hei, terlalu cepat cintamu berlalu bodoh, ini baru bulan ke tiga kau kawin lari­ dengannya”.
Menendang wanita muda itu dan berlalu dengan amat cepat menghindari beberapa pasang mata yang melihatnya.
Wanita muda itu. Tak kenal menyerah untuk membujuk hati neneknya. Hingga malam datang. Ia mendaki tangga reok di rumah wanita tua itu. Di seberang pintu ia mengetuk dengan amat lembut.
“Nek. Tolong buka pintunya nek. Ini cucumu”. Masih dengan air mata yang terus mengucur membasuh muka halusnya
Sedikit membiarkan nafasnya berjalan lancar. Nenek itu menyahut.
“Saya tidak punya cucu lagi”.
“Nenek ini cucumu.  Daeng Kebo”.
Nenek itu menahan suaranya. Naluri untuk memaafkan tiba-tiba muncul sepintas mendengar nama itu. Nama itu adalah pemberiannya.  Membayang betapa besar harapan yang ia titipkan pada nama itu. Kebo dalam bahasa Makassar berarti putih. Ia mengharapkan cucunya tumbuh menjadi wanita suci yang bisa menjaga harga diri.
Tak tahan menunggu lama-lama wanita itu. Membuka pintunya dan mendekap cucunya. Tangan lembut itu kembali mengelus rambut keriting cucunya. “Masuklah cucuku!”.
Dengan segala harap ampunan, merintih, Daeng Kebo menciumi kaki wanita tua yang membesarkannya itu.
“Sudahlah. Lupakan semua dosamu”. Wanita tua itu berusaha menenangkan.
Tetapi Daeng Kebo. Yang dipanggil Rika disekolahan. Hanya menangis, dan membisik tentang dirinya yang tengah berbadan dua.
Tentang semua hal yang belum pernah ia perdengarkan sama sekali kepada cucunya kemudian harus diceritakan pada malam itu. Segala rahasia tentang wanita yang melahirkan Rika, Intang. Yang selama ini selalu dikisahkan mati dalam cerita Nenek Bombong ternyata harus diceritakan hidup pada malam ini.
“Ibumu itu cantik Nak. Meskipun kuceritakan bahwa namanya Intang tetapi Panggilanku padanya Daeng Malukmuk. Ia cantik. Separas dengan wajahmu. Tiba pagi ia pergi meninggalkanmu. Katanya mencari ayahmu. Dan setelah itu sama sekali tak pernah kudengar kabarnya sama sekali. Tapi Kuanggap saja dia sudah mati. Tentang bagaimana kau lahir, ceritanya hampir sama dengan kejadian hari ini. Wanita di rumah ini hanya datang berbadan dua, tanpa sekali pun ada seorang lelaki yang membersamainya”.
Pelan. Daeng kebok mulai mengangkat bicara.
“Lalu kakek pun tak pernah ke rumah ini nek?”
“Sekali pun tak pernah. Ia hanya menyimpan cintanya dalam perutku di tempat lain, setelah itu pergi, tak pernah membersamaiku di rumah ini. Begitu pun tak pernah jelas ku tahu bagaimana aku bisa lahir. Aku besar dan hari demi hari hanya menatap muka seorang wanita. Dialah ibuku. Hari ini juga kau tahu mengapa kita hanya hidup di rumah berukuran kecil. Di atas tebing, jauh dari masyarakat, karena di mata mereka kita hanyala sampah yang mengundang murka Tuhan sesekali hadir di kampung ini”.
selesai bercerita wanita itu berhenti sejenak dan menangis sejadi jadinya.
“Kau tahu?, apa harapanku padamu cucuku?”.
Daeng Kebo. Hanya terdiam, membilas air matanya yang hampir kering dengan air mata baru.
“Aku ingin kau menjadi wanita yang memutuskan semua cerita tentang keturunan kita dan kau bisa menikah secara-baik baik serta membawa laki-laki yang bisa membopong kita keluar dari nista ini”.    
Semua hari-hari seakan menjadi hijab untuk menutup diri. Esoknya dan esoknya lagi adalah penantian dengan segenggam doa-doa, semoga anak yang lahir dari kandungan itu. Bukan anak perempuan lagi.
*
Wanita tua itu kembali menatap memar di punggung wanita itu. Masih berbekas jelas, sisa dari kerjaannya setiap hari memikul bambu-bambu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesaat ia terbangun dan mendongak seraya mengangkat ke dua tangannya pada pertengahan malam.
“Tuhan, semoga anakku bukan perempuan”.
“Tuhan, semoga anakku bukan perempuan”
Mungkin doa itu, bukan lagi miliknya tetapi hamper bagi semua orang yang tahu betapa susahnya menjaga anak perempuan.
Wanita itu, Sang nenek yang kini sedang berbaring mengaminkan doa itu. Dan sebelum menutup matanya ia pun berdoa. Semoga anak itu bukan perempuan.

2 komentar:

  1. masih ada beberapa penulisan yang salah, kak...
    Tidak terlalu fatalji tp mengganggu mata saat membaca.
    Tp ide cerita, oke bngt. Maaf doa sy lain, “Tuhan, semoga anakku perempuan.” hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul banget saya sadari kok,.. bahkan di semua tulisan di blog ini,.... makasih kritiknya,..

      Hapus