Senin, 17 September 2012


MENGHITUNG BINTANG
Oleh : Supriadi Herman
Kening Yui mengernyit. masih sulit ia percaya kalau pendapatan kotor nelayan yang ia wawancarai hanya dua ratus ribu rupiah per pekan. Kalau di kurskan dengan mata uang negaranya. Kisarannya hanya sekitar 1700 Yen. Di Jepang uang sejumlah itu tak akan mungkin dipakai hidup dalam sepekan, biaya sehari pun masih sulit untuk membiayai makan 6 orang.
Wah, luar biasa, negeri ini tempat dimana semua orang dapat hidup sederhana.

            Nurul, datang dari atas bentor yang telah jauh ia carter. Dari arah barat ia berteriak. Yui San. Yotte Kudasai (Ayo naik). Senarai tawa dengan keringat di alisnya telah memancarkan senyum persahabatan. Pancaran senyum persahabatan itulah yang membuat teman barunya dari lintas negara  merasakan senTuhan hati, senyum yang bukan lagi dari bibir tapi senyum yang membentuk seperti hati yang berbelah indah dengan hiasan warna merah yang memancar sempurna. Sangat jarang Yui mendapatkan senyum seperti ini di negaranya. Bahkan tetangganya pun di Jepang sampai saat ini belum dikenal begitu dekat. Tak jarang ketika ia mengingat bahwa waktu kepulangannya ke Jepang tinggal dua hari lagi hatinya semakin berat. Ia mulai menerka hal apa yang akan paling ia rindukan jika sudah berada di Jepang tapi kembali ia meyakinkan bahwa sebenarnya akan banyak hal yang akan membuat ia rindu dengan Negara yang masih tergolong
Negara berkembang ini. Terlalu banyak yang akan menjadi hal hal yang terlupakan. Mulai dari senyum lugu masyarakat pulau yang akan selalu hadir ketika Yui mulai membuka senyum, atau sorot mata takjub para anak anak pulau ketika melihat Yui belajar berbahasa Indonesia, makanan pedas dan berminyak yang selalu terhidang setiap saat atau bentor setiap sore yang keliling mengelilingi pulau dengan lagu dangdut.ahh, Sebenarnya Yui tak mau banyak mengenang. Karena pekerjaan mengenang hanya akan melahirkan rindu. Sementara rindu jika semakin dipupuk akan berbuah rasa yang melicinkan mata untuk meneteskan bening air.  
Nurul, berusaha menatap wajah Yui dalam. Yui San, Doo? (Kenapa?)
Tiba-tiba saja air mata Yui berlinang tanpa mampu berkata-kata. Nurul, please don’t Forget Me. Suaranya serak dengan air mata. berat ia berkata-kata. Kali ini kekuatan tangannyalah yang bisa banyak berbuat untuk menghapus linangan air yang semakin deras membasahi pipinya. Masih ia ingat ketika pertama kali melihat Nurul. Bukan hanya rasa penasaran tentang sikap Nurul, rasa takut pun turut hadir. Ia takut karena wajah nurul terikat dengan jilbab. Khawatir tak bisa cocok dengan Nurul, namun waktu telah berbuat banyak. rasa itu kini berbalik rasa tak mau berpisah. Apalagi ketika mengingat Nurul yang bersedia memasak spesial untuknya karena tak cocok dengan masakan pedas, atau saat ia berbaring di lantai dan nurul datang memakaikannya selimut dan kerap kali bangun di waktu menjelang subuh membenahi selimut Yui yang mulai menjauh dari badan, begitu pula sikap nurul yang selalu berusaha menahan rasa capek untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lain demi menjadi translator dalam interview tentang penelitian Yui mengenai rantai pemasaran nelayan di Pulau Barrang Lompo. Semua dari awal sampai akhir seperti telah berbekas dalam dan penuh titipan makna untuk pembelajaran.
Nurul menatap Yui, dengan mata yang nyaris melelehkan lahar jernih bukti kelemahan hati seorang wanita. Yui. “Sampai kapan pun kita akan tetap menjadi sahabat” dengan bahasa jepang yang pasih dan suara yang bergetar. Di akhir perkataan, Nurul hanya bisa mengelus punggung Yui, ia mampu merasakan betapa getaran hati perempuan asing itu tak mampu membuat bendungan untuk menahan air matanya. Mo Ikkai, Ii?sekali lagi bagaimana?. Nurul Menawarkan untuk berkeliling melihat pulau sekali lagi.
Pak, tolong putar bentornya sekali lagi untuk mengelilingi pulau ini. Titah nurul kepada pak kusir bentor. Tampak sekali jika Nurul ingin bersama Yui, kembali manatap wajah wajah ramah pendudik pulau yang bercengkramah dengan tetangganya di pinggir jalan. Banyak sekali masyarakat yang memiliki hobbi berkeliling pulau untuk sekedar bersosialisasi dengan masyarakat penduduk pulau yang lain, yang jumlahnya sudah hampir mencapai angka ribuan Terlebih hari ini adalah hari terakhir bersama Yui di Pulau ini. Esok Ia akan kembali lagi ke Makassar dan esoknya lagi akan terbang ke Jepang.
*****
Yui terbangun. Tepat pukul 23.45. sebentar lagi tengah malam akan mampir. Khusus malam ini, Yui tidur lebih awal. Kalau malam-malam sebelumnya Yui tidur diatas pukul 23.00 untuk berdiskusi bersama Nurul tentang apa saja kegiatan hari ini, maka malam ini tidak. Yui tidur sebelum pukul 19.00, Bukan karena Yui sangat kelelahan, tetapi Ia ingin melalui malam ini dengan melihat bintang. Sejak awal berada di pulau pun dia sudah berhasrat untuk menyediakan satu malam, dimana ia bebas melihat bintang, hingga bintang itu akan lenyap satu per satu karena menyambut mentari datang.  Baginya melihat bintang itu ia umpamakan seperti mesin minuman di Jepang. Orang-orang Indonesia yang pernah ke sana merasa takjub. Mesin minuman itu bisa menghitung uang kembalian dan kerennya lagi sampai di desa paling terpencil pun di Jepang akan ditemukan barang modern seperti ini, berbeda di Indonesia, meskipun sekarang sudah ada mesin seperti itu, tetapi belum bisa menghitung uang kembalian. Itu pun hanya ada di kota besar. Bagi orang desa seperti Nurul dan teman-temannya yang terbilang orang kampung yang berhasil lolos seleksi dalam student Exchange hal Ini adalah hal yang sangat luar biasa. Seperti itu juga Yui. Banyak orang orang Pulau yang menertawakan ketika Yui melihat banyak bintang yang muncul di atas langit. Ia berteriak dan mengeluarkan kameranya segera. Melihat bintang yang berkurumung bak semut baginya seperti melihat gerhana bulan. Bahkan tak terlupakan ia menulis dalam diarinya bahwa ia merasakan berada di surga pada malam itu.
            Menemani Pasir-pasir  Pulau Barrang Lompo yang kini sudah mulai lembab dan kerumunan rumah yang kini telah memadamkan lampunya dan terlelap. Yui mempercepat langkah menuju lapangan Luas yang tak jauh dari Marine Station tempat ia menetap sewaktu melaksanakan penelitian. Sengaja Ia hamparkan seluruh badannya ke tengah lapangan yang berpasir dan memulai aktivitas yang ia nantikan. Menghitung bintang.
            Sesaat kemudian. Hitungannya sampai hitungan 999 dan berhenti. Ia berpikir keras. Bagaimana mungkin Ia bisa menghitung Bintang?. Sesaat ia menertawai dirinya sendiri. Seperti hari kemarin ketika mendengarkan Nurul membaca kitab Suci. Yui Merinding. Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Pertanyaan itu datang begitu saja. Pikirannya bermuara pada kenapa ia harus ada di dunia ini dan bertemu dengan Nurul, padahal sekali pun ia tak pernah berniat ketempat ini. Begitu pun ia membalik jauh pertanyaan itu. Ia juga tak pernah berniat ke bumi?. Lalu dia hidup untuk apa?. Di bintang ke seribu Yui menunjuk dengan telunjuk yang rebah, kali ini Ia menangis karena kebingungannya yang memuncak. Teringat debatan debatan nurul ketika Yui menggugat Tuhan.
            Dengan langkah cepat Ia kembali. Karena akan ada kebiasaan Nurul yang akan terlaksana di detik detik menjelang Fajar mulai muncul, ke kamar Yui untuk memperbaiki selimut. Hal itu biasa dilaksanakannya setelah salat tahajjud. Nurul betul betul menggauli Yui bukan lagi dengan Ahlaknya tetapi dengan hatinya yang suci. Dan hal itu ternyata benar. Nurul melakukannya sekali lagi. Pada malam terakhir di Pulau. Yui hanya berpura pura tidur tapi air matanya akan selalu menetes. Bingung, haru, dan sedih atas perpisahan. Kini bercampur menjadi satu.
*****
            DI BANDARA. Tak ada barang berharga dari Yui kepada Nurul kecuali sepucuk surat persahabatan. Memeluk Nurul dan melangkah cepat menuju pemeriksaan barang Yui tertunduk mengeja jumlah lantai, Ia tak mau melihat Nurul sekali lagi pun. Ia tahu bahwa ketika menghadap kebelakang maka ia akan berlinang air mata lagi. Nurul pun hanya melihat dari belakang dan melambaikan tangan dengan diiringi air mata. Dan membaca surat Yui Secepatnya.
SAHABATKU NURUL.
Terima kasih 26 hari membersamaiku di Pulau.
Nurul, ku harap kau tak keberatan jika kupanggil kakak. Sebelumnya saya mempunyai kakak yang baiknya seperti kamu dan cantiknya seperti kamu. Namanya Tomoko Hashimoto. Tapi ia meninggalkanku sendiri karena sakit yang di deritanya bertahun tahun.
Jadi saya panggil saja sebagai saudaraku. Tidak apa apa kan?.
Nurul ini adalah poem Jepang yang paling aku sukai. “ada 7 Miliar manusia di bumi ini. Butuh lebih dari 100 tahun untuk bertemu satu dengan yang lain. Tetapi bertemu denganmu adalah satu keajaiban”.
Di Pulau saya sudah menemukan keajaiban itu. Dan keajaiban itu bernama Tuhan. Dialah yang mempertemukan kita.
Nurul. Sekarang saya sudah percaya kalau Tuhan itu ada. Seperti yang kau jelaskan sebelumnya bahwa Tuhan itu maha berkehendak. Saya mau bertemu denganmu lagi untuk belajar tentang Tuhan. Tapi itu. Jika Tuhan mau. Aku melihat mahluk Tuhan yang mengingatkan bahwa ada Tuhan. Dan mahluk itu adalah kamu. TERIMA KASIH.

Nurul. Semakin terisak. Ia mengingat satu malam menangis ketika Yui menggugat Tuhan. Sama sekali ia merasa kalah berdebat saat itu. Tapi ternyata Tuhan masih menuntun Yui. Air mata Nurul serasa mendingin bagai salju Jepang yang menyegarkan mukanya. Yokatta.

Tulisan ini dimuat di Identitas Edisi Akhir Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar