MENGHITUNG
BINTANG
Oleh
: Supriadi Herman
Kening
Yui mengernyit. masih sulit ia percaya kalau pendapatan kotor nelayan yang ia
wawancarai hanya dua ratus ribu rupiah per pekan. Kalau di kurskan dengan mata
uang negaranya. Kisarannya hanya sekitar 1700 Yen. Di Jepang uang sejumlah itu
tak akan mungkin dipakai hidup dalam sepekan, biaya sehari pun masih sulit
untuk membiayai makan 6 orang.
Wah,
luar biasa, negeri ini tempat dimana semua orang dapat hidup sederhana.
Nurul, datang dari atas bentor yang
telah jauh ia carter. Dari arah barat ia berteriak. Yui San. Yotte Kudasai (Ayo naik).
Senarai tawa dengan keringat di alisnya telah memancarkan senyum persahabatan.
Pancaran senyum persahabatan itulah yang membuat teman barunya dari lintas negara
merasakan senTuhan hati, senyum yang
bukan lagi dari bibir tapi senyum yang membentuk seperti hati yang berbelah
indah dengan hiasan warna merah yang memancar sempurna. Sangat jarang Yui
mendapatkan senyum seperti ini di negaranya. Bahkan tetangganya pun di Jepang sampai
saat ini belum dikenal begitu dekat. Tak jarang ketika ia mengingat bahwa waktu
kepulangannya ke Jepang tinggal dua hari lagi hatinya semakin berat. Ia mulai
menerka hal apa yang akan paling ia rindukan jika sudah berada di Jepang tapi kembali
ia meyakinkan bahwa sebenarnya akan banyak hal yang akan membuat ia rindu
dengan Negara yang masih tergolong
Negara berkembang ini. Terlalu banyak yang
akan menjadi hal hal yang terlupakan. Mulai dari senyum lugu masyarakat pulau
yang akan selalu hadir ketika Yui mulai membuka senyum, atau sorot mata takjub
para anak anak pulau ketika melihat Yui belajar berbahasa Indonesia, makanan
pedas dan berminyak yang selalu terhidang setiap saat atau bentor setiap sore
yang keliling mengelilingi pulau dengan lagu dangdut.ahh, Sebenarnya Yui tak
mau banyak mengenang. Karena pekerjaan mengenang hanya akan melahirkan rindu.
Sementara rindu jika semakin dipupuk akan berbuah rasa yang melicinkan mata
untuk meneteskan bening air.
Nurul,
berusaha menatap wajah Yui dalam. Yui San,
Doo? (Kenapa?)
Tiba-tiba
saja air mata Yui berlinang tanpa mampu berkata-kata. Nurul, please don’t Forget Me. Suaranya serak
dengan air mata. berat ia berkata-kata. Kali ini kekuatan tangannyalah yang
bisa banyak berbuat untuk menghapus linangan air yang semakin deras membasahi
pipinya. Masih ia ingat ketika pertama kali melihat Nurul. Bukan hanya rasa
penasaran tentang sikap Nurul, rasa takut pun turut hadir. Ia takut karena
wajah nurul terikat dengan jilbab. Khawatir tak bisa cocok dengan Nurul, namun waktu
telah berbuat banyak. rasa itu kini berbalik rasa tak mau berpisah. Apalagi
ketika mengingat Nurul yang bersedia memasak spesial untuknya karena tak cocok
dengan masakan pedas, atau saat ia berbaring di lantai dan nurul datang
memakaikannya selimut dan kerap kali bangun di waktu menjelang subuh membenahi
selimut Yui yang mulai menjauh dari badan, begitu pula sikap nurul yang selalu
berusaha menahan rasa capek untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lain demi
menjadi translator dalam interview tentang penelitian Yui mengenai rantai
pemasaran nelayan di Pulau Barrang Lompo. Semua dari awal sampai akhir seperti telah
berbekas dalam dan penuh titipan makna untuk pembelajaran.
Nurul
menatap Yui, dengan mata yang nyaris melelehkan lahar jernih bukti kelemahan
hati seorang wanita. Yui. “Sampai kapan pun kita akan tetap menjadi sahabat”
dengan bahasa jepang yang pasih dan suara yang bergetar. Di akhir perkataan, Nurul
hanya bisa mengelus punggung Yui, ia mampu merasakan betapa getaran hati
perempuan asing itu tak mampu membuat bendungan untuk menahan air matanya. Mo Ikkai, Ii?sekali lagi bagaimana?.
Nurul Menawarkan untuk berkeliling melihat pulau sekali lagi.
Pak,
tolong putar bentornya sekali lagi untuk mengelilingi pulau ini. Titah nurul
kepada pak kusir bentor. Tampak sekali jika Nurul ingin bersama Yui, kembali
manatap wajah wajah ramah pendudik pulau yang bercengkramah dengan tetangganya
di pinggir jalan. Banyak sekali masyarakat yang memiliki hobbi berkeliling
pulau untuk sekedar bersosialisasi dengan masyarakat penduduk pulau yang lain,
yang jumlahnya sudah hampir mencapai angka ribuan Terlebih hari ini adalah hari
terakhir bersama Yui di Pulau ini. Esok Ia akan kembali lagi ke Makassar dan
esoknya lagi akan terbang ke Jepang.
*****
Yui
terbangun. Tepat pukul 23.45. sebentar lagi tengah malam akan mampir. Khusus malam
ini, Yui tidur lebih awal. Kalau malam-malam sebelumnya Yui tidur diatas pukul
23.00 untuk berdiskusi bersama Nurul tentang apa saja kegiatan hari ini, maka malam
ini tidak. Yui tidur sebelum pukul 19.00, Bukan karena Yui sangat kelelahan,
tetapi Ia ingin melalui malam ini dengan melihat bintang. Sejak awal berada di
pulau pun dia sudah berhasrat untuk menyediakan satu malam, dimana ia bebas
melihat bintang, hingga bintang itu akan lenyap satu per satu karena menyambut
mentari datang. Baginya melihat bintang
itu ia umpamakan seperti mesin minuman di Jepang. Orang-orang Indonesia yang
pernah ke sana merasa takjub. Mesin minuman itu bisa menghitung uang kembalian
dan kerennya lagi sampai di desa paling terpencil pun di Jepang akan ditemukan
barang modern seperti ini, berbeda di Indonesia, meskipun sekarang sudah ada
mesin seperti itu, tetapi belum bisa menghitung uang kembalian. Itu pun hanya
ada di kota besar. Bagi orang desa seperti Nurul dan teman-temannya yang
terbilang orang kampung yang berhasil lolos seleksi dalam student Exchange hal Ini adalah hal yang sangat luar biasa. Seperti
itu juga Yui. Banyak orang orang Pulau yang menertawakan ketika Yui melihat
banyak bintang yang muncul di atas langit. Ia berteriak dan mengeluarkan
kameranya segera. Melihat bintang yang berkurumung bak semut baginya seperti
melihat gerhana bulan. Bahkan tak terlupakan ia menulis dalam diarinya bahwa ia
merasakan berada di surga pada malam itu.
Menemani
Pasir-pasir
Pulau Barrang Lompo yang kini sudah
mulai lembab dan kerumunan rumah yang kini telah memadamkan lampunya dan
terlelap. Yui mempercepat langkah menuju lapangan Luas yang tak jauh dari Marine Station tempat ia menetap sewaktu
melaksanakan penelitian. Sengaja Ia hamparkan seluruh badannya ke tengah
lapangan yang berpasir dan memulai aktivitas yang ia nantikan. Menghitung
bintang.
Sesaat kemudian. Hitungannya sampai hitungan 999 dan
berhenti. Ia berpikir keras. Bagaimana mungkin Ia bisa menghitung Bintang?. Sesaat
ia menertawai dirinya sendiri. Seperti hari kemarin ketika mendengarkan Nurul membaca
kitab Suci. Yui Merinding. Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Pertanyaan itu datang
begitu saja. Pikirannya bermuara pada kenapa ia harus ada di dunia ini dan
bertemu dengan Nurul, padahal sekali pun ia tak pernah berniat ketempat ini. Begitu
pun ia membalik jauh pertanyaan itu. Ia juga tak pernah berniat ke bumi?. Lalu
dia hidup untuk apa?. Di bintang ke seribu Yui menunjuk dengan telunjuk yang
rebah, kali ini Ia menangis karena kebingungannya yang memuncak. Teringat
debatan debatan nurul ketika Yui menggugat Tuhan.
Dengan langkah cepat Ia kembali. Karena akan ada
kebiasaan Nurul yang akan terlaksana di detik detik menjelang Fajar mulai
muncul, ke kamar Yui untuk memperbaiki selimut. Hal itu biasa dilaksanakannya
setelah salat tahajjud. Nurul betul betul menggauli Yui bukan lagi dengan
Ahlaknya tetapi dengan hatinya yang suci. Dan hal itu ternyata benar. Nurul
melakukannya sekali lagi. Pada malam terakhir di Pulau. Yui hanya berpura pura
tidur tapi air matanya akan selalu menetes. Bingung, haru, dan sedih atas
perpisahan. Kini bercampur menjadi satu.
*****
DI BANDARA. Tak ada barang berharga
dari Yui kepada Nurul kecuali sepucuk surat persahabatan. Memeluk Nurul dan
melangkah cepat menuju pemeriksaan barang Yui tertunduk mengeja jumlah lantai,
Ia tak mau melihat Nurul sekali lagi pun. Ia tahu bahwa ketika menghadap
kebelakang maka ia akan berlinang air mata lagi. Nurul pun hanya melihat dari
belakang dan melambaikan tangan dengan diiringi air mata. Dan membaca surat Yui
Secepatnya.
SAHABATKU NURUL.
Terima kasih 26
hari membersamaiku di Pulau.
Nurul,
ku harap kau tak keberatan jika kupanggil kakak. Sebelumnya saya mempunyai
kakak yang baiknya seperti kamu dan cantiknya seperti kamu. Namanya Tomoko Hashimoto.
Tapi ia meninggalkanku sendiri karena sakit yang di deritanya bertahun tahun.
Jadi
saya panggil saja sebagai saudaraku. Tidak apa apa kan?.
Nurul
ini adalah poem Jepang yang paling aku sukai. “ada 7 Miliar manusia di bumi ini. Butuh lebih dari 100 tahun untuk
bertemu satu dengan yang lain. Tetapi bertemu denganmu adalah satu keajaiban”.
Di
Pulau saya sudah menemukan keajaiban itu. Dan keajaiban itu bernama Tuhan. Dialah
yang mempertemukan kita.
Nurul.
Sekarang saya sudah percaya kalau Tuhan itu ada. Seperti yang kau jelaskan
sebelumnya bahwa Tuhan itu maha berkehendak. Saya mau bertemu denganmu lagi
untuk belajar tentang Tuhan. Tapi itu. Jika Tuhan mau. Aku melihat mahluk Tuhan
yang mengingatkan bahwa ada Tuhan. Dan mahluk itu adalah kamu. TERIMA KASIH.
Nurul.
Semakin terisak. Ia mengingat satu malam menangis ketika Yui menggugat Tuhan. Sama
sekali ia merasa kalah berdebat saat itu. Tapi ternyata Tuhan masih menuntun
Yui. Air mata Nurul serasa mendingin bagai salju Jepang yang menyegarkan mukanya.
Yokatta.
Tulisan
ini dimuat di Identitas Edisi Akhir Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar