Oleh
: Supriadi Herman
Kutatap wajah
ayah. perlahan aku semakin yakin, ayah telah semakin lemah. Badannya yang dulu
kekar kini telah berubah menjadi keriput, panu disekitar badannya telah meluas hampir
di seluruh badan. Rambutnya yang dulu hitam kini perlahan memutih. Namun
rupanya masih sama ketika memandangku, ada rasa yang begitu mudah tertebak dan
dijelaskan. Kutahu bahwa bertambah hari maka semakin kuat keinginannya untuk
melihat anaknya menjadi seorang pegawai negeri. Apalagi menjelang usiaku di kampus
yang kini mendekati usia enam tahun perkuliahan.
“Saya sekarang
sedang menyusun skripsi Ayah”. kubuka pembicaraan dan meraih kursi yang ada di
sampingku. “Sekitar tiga bulan ke depan jika tak ada halangan saya akan sarjana”.
“Cepatlah
sarjana Nak!, setelah itu kau juga bisa berpakain dinas. Seperti orang sukses
yang lain di desa ini, supaya kau bisa memakan uang negara tanpa harus bekerja
berat.”
“Ya Ayah. kalau
bukan pegawai negeri, saya bisa bekerja di perusahaan”
“Katanya
sebentar lagi akan ada peraturan untuk membatasi penerimaan pegawai negeri. Padahal,
pegawai negeri itu bagus Nak, kamu tak harus berkeringat setiap hari di sawah
seperti ayahmu ini”
“Sepertinya susah
ayah, bersaing dengan para pegawai honorer yang sudah mengabdi duluan di Dinas
Pendidikan”
“Mungkin karena
kau terlalu lama kuliah”
Ayah sedikit tak
menerima alasan kali ini. Lama kuliah adalah akar dari segala kegagalan
menurutnya. Aku tak tahu harus dari mana menjelaskan seputar masalah yang
sedang kujalani menuju capaian gelar sarjanaku selama ini mulai dari
administrasi yang bertele-tele, dosen pembimbing yang sulit ditemui,
termasuk masalah-masalah
seputar Rina yang kini meminta pertanggungjawaban dariku setelah menanamkan
benih cinta di dalam rahimnya.
“Ayah, sebelumnya
aku meminta maaf jika saya lalai dalam berkuliah”.
Ayah memasang
muka garangnya.
Wajah itu begitu
tegas dan jauh dari keraguan dalam menyekolahkanku. Satu per satu kerabat ayah datang
memberi petuah.
menyekolahkan anak itu butuh pengorbanan. Menyekolahkan
berarti harus rela kehilangan lahan yang digarapnya untuk makan sehari-hari. Kala
itu, banyak yang sudah memprediksi kuliahku akan berhenti di tengah jalan. Ayah
meyakinkanku dengan segala tampan yang begitu jarang berteman dengan keraguan. “ayah
mampu membiayai kuliahku hingga Sarjana”
“Nak, keberanian
seorang ayah adalah membiarkan cita-cita anaknya tumbuh sedangkan kasih sayang
yang tak terhingga seorang ibu adalah menjaga asa anaknya dengan motivasi dan
doa”
Kata-kata ayah
selalu membekas namun untuk beberapa waktu saja. Aku lalai mengingatnya dalam
banyak waktu, termasuk dalam mengambil tindakan berpacaran di kampus.
Sebenarnya sedikit
banyak, suara tentang bagaimana sikapku pernah hadir dalam awal perkuliahan
dari cibiran seorang tetangga.
“Kalau saya
perhatikan kelakuan anakmu, tak lama lagi kau akan menimang cucu”
Ayah tak
percaya. Mukanya hanya menunjukkan bagaimana ia bertekad, tak mau mendengar
suara sumbang, amat jelas bahwa dia mampu menjaga anaknya baik-baik dengan
didikan khasnya yang penuh kasih sayang.
“Nak, tak ada
yang bisa kuwariskan untukmu. Semua telah kau ambil untuk sekolahmu”
Aku terdiam
lagi. Sulit rasanya menjelaskan bagaimana beban yang amat berat kali ini. Selain
ayah menyerbuku dengan beban menyelesaikan kuliah secepatnya, seorang wanita
yang aku pacari meminta pertanggung jawabanku segera untuk menikahinya. Tak
bisa kubayangkan bagaimana ayah harus menanggung malu kepada para tetangga. Belum
lagi sedang populernya bahasan mengenai kuliahku yang berumur panjang, Ayah
harus ditertawakan karena aku harus menikah sebelum sarjana dengan cara
terpaksa.
“Ayah sebenarnya
aku ada masalah besar”
Ayah mengalihkan
pandangan ke arahku menatapku dengan cara yang amat berbeda.
“Apa masalahmu.
Masalah dengan dosenmu lagi yang tak mau membimbing dalam tugas akhir?,
sampaikan saja salamku padanya!. Katakan bahwa setiap orang tua hanya
menginginkan satu hal dari kerjakerasnya. Ia ingin Anaknya sukses dari jerih
payahnya”
Ah, Ayah. Dosen itu bukan seperti guruku
waktu SMA yang bisa aku titipkan salam. Dosen dan mahasiswa itu tak seperti
berkeluarga. Semua harus dibahasakan dengan tulisan formal, jangankan salam, senyum
pun kadang tak terbalas.
“Bukan itu
masalahku Ayah”
“Semua masalah
bisa diatasi. Bicaralah”
“Aku hendak
menikah ayah”
“Kamu sarjana
lah dulu, belum saatnya”. Ayah sedikit menggertak tapi aku tahu bagaimana ia
sangat menyayangiku. Aku hanya tersenyum kecut membiarkan ayah menilaiku bahwa
aku sedang tak serius. Membiarkan ayah bergerak ke pembaringan.
Aku sedikit
susah tidur. Kupandangi malam dengan segala suasananya. Sesaat kulihat ayah
dari celah pintu. Ada raut penuh letih di atas ranjang disana ada ayah dan ibu.
Wajah itu tak tersisakan nafsu lagi kecuali sedikit rasa untuk saling
mengasihi. Cinta menyatukan mereka untuk tetap bersama di pembaringan meski
dengan badan yang semakin tak “menarik”. Kutahu bahwa di akhir usia orang tua
hanya memiliki satu doa : semoga mereka dimatikan dalam keadaan baik-baik dan
di dampingi anak-anaknya. Sayangnya kadang doa itu tak pernah terlapaskan oleh
anak hanya orang tua yang memiliki doa itu. Doa untuk tetap bersama begitu
nasihat ayah kepadaku. Katanya doa itu masih terbilang rahasia, takut tak ampuh
lagi jika sudah menyebar.
Ku putuskan. Biarlah
malam sibuk dengan kesendiriannya. Aku mau tidur.
*
Ayah datang
lagi. Menanyakan perihal masalahku. di dekat pembaringan ia duduk.
Muka ayah merah padam.
Dikeluarkan segala sumpah serapah. Dasar kau anak tak tahu di untung. Ibu
mencoba melerai.
“Sudahlah ayah
ini tengah malam, biarkan tenang dulu, besok baru kita bicarakan dengan pikiran
sehat”
Ayah mengabaikan
ibu kali ini, sengaja membiarkan ibu berair mata sederas-derasnya. Aku terdiam.
Aku memang salah, anak berdosa. Seharusnya kubayar tetesan keringat ayah dengan
tetesan-tetesan air mata haru, bukan air mata kesedihan.
Ku rasakan air
mata itu terus mengalir di sekitar pembaringan.
“kamu kenapa
nak, Kamu bermimpi ya?”
kutatap wajah
ibu yang masih samar dalam penglihatan
“Kenapa bu?”
“Kamu menangis
dalam tidur”
“Iya bu”
Ah, kemarahan ayah hanya menyambangiku
dalam mimpi.
Perlahan
kurasakan sakitnya jika melihat ayah marah. Meski dalam mimpi tapi itu cukup
membuatku berair mata. Bagaimana jika seandainya ayah betul-betul marah?. Aku
tak tahu. Seingatku memang seumur hidup ayah memang tak pernah memarahiku
kecuali sengaja mendiamkan jika ada masalah begitu cara marah yang ia
perlihatkan. Bahkan seingatku ia pernah menegur ibu.
“Jangan Berkata
kasar apalagi memukul anakmu, Kata kasar dan pukulan dari orang tua itu akan
membekas dalam hatinya. Membuat seorang anak yang menghilangkan naluri mencinta
kepada orang tuanya”
Lalu mengapa aku
menjadi anak yang tidak mengingat pengorbanan orang tua?. Aku takut ayah marah
tetapi aku butuh ayah marah.
“Ayah, aku punya
masalah besar”.
Tulisan ini dimuat di Penerbitan Kampus Identitas, Akhir September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar