Selasa, 09 Oktober 2012

Ketika Ayah Marah



Oleh : Supriadi Herman
Kutatap wajah ayah. perlahan aku semakin yakin, ayah telah semakin lemah. Badannya yang dulu kekar kini telah berubah menjadi keriput, panu disekitar badannya telah meluas hampir di seluruh badan. Rambutnya yang dulu hitam kini perlahan memutih. Namun rupanya masih sama ketika memandangku, ada rasa yang begitu mudah tertebak dan dijelaskan. Kutahu bahwa bertambah hari maka semakin kuat keinginannya untuk melihat anaknya menjadi seorang pegawai negeri. Apalagi menjelang usiaku di kampus yang kini mendekati usia enam tahun perkuliahan.
“Saya sekarang sedang menyusun skripsi Ayah”. kubuka pembicaraan dan meraih kursi yang ada di sampingku. “Sekitar tiga bulan ke depan jika tak ada halangan saya akan sarjana”.
“Cepatlah sarjana Nak!, setelah itu kau juga bisa berpakain dinas. Seperti orang sukses yang lain di desa ini, supaya kau bisa memakan uang negara tanpa harus bekerja berat.”
“Ya Ayah. kalau bukan pegawai negeri, saya bisa bekerja di perusahaan”
“Katanya sebentar lagi akan ada peraturan untuk membatasi penerimaan pegawai negeri. Padahal, pegawai negeri itu bagus Nak, kamu tak harus berkeringat setiap hari di sawah seperti ayahmu ini”
“Sepertinya susah ayah, bersaing dengan para pegawai honorer yang sudah mengabdi duluan di Dinas Pendidikan”
“Mungkin karena kau terlalu lama kuliah”
Ayah sedikit tak menerima alasan kali ini. Lama kuliah adalah akar dari segala kegagalan menurutnya. Aku tak tahu harus dari mana menjelaskan seputar masalah yang sedang kujalani menuju capaian gelar sarjanaku selama ini mulai dari administrasi yang bertele-tele, dosen pembimbing yang sulit ditemui,
termasuk masalah-masalah seputar Rina yang kini meminta pertanggungjawaban dariku setelah menanamkan benih cinta di dalam rahimnya.
“Ayah, sebelumnya aku meminta maaf jika saya lalai dalam berkuliah”.
Ayah memasang muka garangnya.
Wajah itu begitu tegas dan jauh dari keraguan dalam menyekolahkanku. Satu per satu kerabat ayah datang memberi petuah.
 menyekolahkan anak itu butuh pengorbanan. Menyekolahkan berarti harus rela kehilangan lahan yang digarapnya untuk makan sehari-hari. Kala itu, banyak yang sudah memprediksi kuliahku akan berhenti di tengah jalan. Ayah meyakinkanku dengan segala tampan yang begitu jarang berteman dengan keraguan. “ayah mampu membiayai kuliahku hingga Sarjana”
“Nak, keberanian seorang ayah adalah membiarkan cita-cita anaknya tumbuh sedangkan kasih sayang yang tak terhingga seorang ibu adalah menjaga asa anaknya dengan motivasi dan doa”
Kata-kata ayah selalu membekas namun untuk beberapa waktu saja. Aku lalai mengingatnya dalam banyak waktu, termasuk dalam mengambil tindakan berpacaran di kampus.
Sebenarnya sedikit banyak, suara tentang bagaimana sikapku pernah hadir dalam awal perkuliahan dari cibiran seorang tetangga.
“Kalau saya perhatikan kelakuan anakmu, tak lama lagi kau akan menimang cucu”
Ayah tak percaya. Mukanya hanya menunjukkan bagaimana ia bertekad, tak mau mendengar suara sumbang, amat jelas bahwa dia mampu menjaga anaknya baik-baik dengan didikan khasnya yang penuh kasih sayang.
“Nak, tak ada yang bisa kuwariskan untukmu. Semua telah kau ambil untuk sekolahmu”
Aku terdiam lagi. Sulit rasanya menjelaskan bagaimana beban yang amat berat kali ini. Selain ayah menyerbuku dengan beban menyelesaikan kuliah secepatnya, seorang wanita yang aku pacari meminta pertanggung jawabanku segera untuk menikahinya. Tak bisa kubayangkan bagaimana ayah harus menanggung malu kepada para tetangga. Belum lagi sedang populernya bahasan mengenai kuliahku yang berumur panjang, Ayah harus ditertawakan karena aku harus menikah sebelum sarjana dengan cara terpaksa.
“Ayah sebenarnya aku ada masalah besar”
Ayah mengalihkan pandangan ke arahku menatapku dengan cara yang amat berbeda.
“Apa masalahmu. Masalah dengan dosenmu lagi yang tak mau membimbing dalam tugas akhir?, sampaikan saja salamku padanya!. Katakan bahwa setiap orang tua hanya menginginkan satu hal dari kerjakerasnya. Ia ingin Anaknya sukses dari jerih payahnya”
Ah, Ayah. Dosen itu bukan seperti guruku waktu SMA yang bisa aku titipkan salam. Dosen dan mahasiswa itu tak seperti berkeluarga. Semua harus dibahasakan dengan tulisan formal, jangankan salam, senyum pun kadang tak terbalas.
“Bukan itu masalahku Ayah”
“Semua masalah bisa diatasi. Bicaralah”
“Aku hendak menikah ayah”
“Kamu sarjana lah dulu, belum saatnya”. Ayah sedikit menggertak tapi aku tahu bagaimana ia sangat menyayangiku. Aku hanya tersenyum kecut membiarkan ayah menilaiku bahwa aku sedang tak serius. Membiarkan ayah bergerak ke pembaringan.
Aku sedikit susah tidur. Kupandangi malam dengan segala suasananya. Sesaat kulihat ayah dari celah pintu. Ada raut penuh letih di atas ranjang disana ada ayah dan ibu. Wajah itu tak tersisakan nafsu lagi kecuali sedikit rasa untuk saling mengasihi. Cinta menyatukan mereka untuk tetap bersama di pembaringan meski dengan badan yang semakin tak “menarik”. Kutahu bahwa di akhir usia orang tua hanya memiliki satu doa : semoga mereka dimatikan dalam keadaan baik-baik dan di dampingi anak-anaknya. Sayangnya kadang doa itu tak pernah terlapaskan oleh anak hanya orang tua yang memiliki doa itu. Doa untuk tetap bersama begitu nasihat ayah kepadaku. Katanya doa itu masih terbilang rahasia, takut tak ampuh lagi jika sudah menyebar.
Ku putuskan. Biarlah malam sibuk dengan kesendiriannya. Aku mau tidur.
*
Ayah datang lagi. Menanyakan perihal masalahku. di dekat pembaringan ia duduk.
Muka ayah merah padam. Dikeluarkan segala sumpah serapah. Dasar kau anak tak tahu di untung. Ibu mencoba melerai.
“Sudahlah ayah ini tengah malam, biarkan tenang dulu, besok baru kita bicarakan dengan pikiran sehat”
Ayah mengabaikan ibu kali ini, sengaja membiarkan ibu berair mata sederas-derasnya. Aku terdiam. Aku memang salah, anak berdosa. Seharusnya kubayar tetesan keringat ayah dengan tetesan-tetesan air mata haru, bukan air mata kesedihan.
Ku rasakan air mata itu terus mengalir di sekitar pembaringan.
“kamu kenapa nak, Kamu bermimpi ya?”
kutatap wajah ibu yang masih samar dalam penglihatan
“Kenapa bu?”
“Kamu menangis dalam tidur”
“Iya bu”
Ah, kemarahan ayah hanya menyambangiku dalam mimpi.
Perlahan kurasakan sakitnya jika melihat ayah marah. Meski dalam mimpi tapi itu cukup membuatku berair mata. Bagaimana jika seandainya ayah betul-betul marah?. Aku tak tahu. Seingatku memang seumur hidup ayah memang tak pernah memarahiku kecuali sengaja mendiamkan jika ada masalah begitu cara marah yang ia perlihatkan. Bahkan seingatku ia pernah menegur ibu.
“Jangan Berkata kasar apalagi memukul anakmu, Kata kasar dan pukulan dari orang tua itu akan membekas dalam hatinya. Membuat seorang anak yang menghilangkan naluri mencinta kepada orang tuanya”
Lalu mengapa aku menjadi anak yang tidak mengingat pengorbanan orang tua?. Aku takut ayah marah tetapi aku butuh ayah marah.
“Ayah, aku punya masalah besar”.

Tulisan ini dimuat di Penerbitan  Kampus Identitas,   Akhir  September 2012 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar