Kadang
saya sendiri berani menilai bahwa
sebenarnya saya orang yang pandai bersyukur. Tulisan ini tak akan
sanggup menjelaskan semua yang kurasakan, tak mampu mengukir semua yang pernah
saya alami atau bahkan tak kan pernah mampu menggambarkan apa yang sesungguhnya
tengah terjadi dalam diri saya., tapi hanya saja jika kemudian ada yang menilai
tulisan ini rekayasa itu adalah kesalahan besar yang pasti ini bukan tulisan
palsu sebab saya telah berusaha menceritakan semua yang saya alami, yang saya
rasakan dan segala hal yang mungkin bisa membantu orang untuk runut dalam
membaca pikiranku, sebab antara penulis dan pembaca sebenarnya tidak jauh
artian saling bertukar fikiran.
Saya ingin mengawali tulisan ini
dengan menyebut alur yang saya pilih, mungkin supaya bisa terbaca jelas, saya
akan memilih alur maju saja, selain untuk memudahkan pembaca, juga meringankan
saya dalam menyusun tulisan ini.
Saya
belum pernah merasa berhasil mendapat apa yang saya inginkan dan selalu
menjatuhkan pada pilihan kedua bahkan opsi terakhir yang masih tersedia.
Waktu itu saya lulus SD dengan NEM
rata-rata 8,01. Saya mau sekolah di pesantren. Kepala sekolah menjamin, akan
sangat rugi jika saya dengan NEM brilian hanya lulus di SMP yang belum
mempunyai nama, seperti berusaha memberikan saya semangat, bahwa saya
sesungguhnya memiliki kemampuan lebih dibanding teman-teman yang lain. Niat
sekolah di pesantren semakin memuncak ketika kabar silih berganti menceritakan
tentang kemampuan lulusan pesantren yang mumpuni dalam membaca Qur’an dan
berbahasa asing seperti bahasa arab dan inggris. Sempat beberapa saat ayah
mencari informasi yang cukup tentang pesantren, tentunya hal itu menumbuhkan sebuah harapan baru bagi saya
untuk menempuh pendidikan di pesantren, namun pendek cerita saat itu dengan
alasan sepele yang konon di pesantren banyak kejadian ganjil hingga akhirnya
Ayah melaran untuk lanjut di pesantren, kalau begitu saya mau lanjut di SMP
terdekat saja ucapku memberikan pilihan jika Ayah tak berkenan saya lanjut di
Pesantren, lagian SMP di kecamatan juga lumayan terdengar baik dalam persaingan
belajar yang sehat, disana ada kelas unggulan, tempat dimana orang-orang yang
mampu bersaing beradu kemampuan dalam belajar. Ayah tak setuju. Katanya kalau
niatnya ke pesantren artinya pilihan ke dua adalah satu tingkat di bawah
pesantren itu yaitu Madrasan Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP dengan kurikulim
agama tambahan atau biasa disebut MTS) bukan SMP. Karena saya orangnya penurut,
saya meng-ia-kan saja, padahal saya tahu betul track record MTS yang saya tempati sekolah waktu itu bukan sekolah
yang diidam-idamkan. Bahkan kebanyakan dihuni oleh siswa dengan latar belakang
keilmuan yang kurang baik. Saya kemudian baru tersadar bahwa saya tidak salah
pilih ketika berada di kelas unggulan di SMA yang difavoritkan di kabupaten.
Alangkah terkejutnya ketika saya yang berasal dari MTS mampu bersaing dan lolos
untuk menghuni kelas unggulan, dan saya satu-satunya siswa dari kecamatan saya
yang lolos, yang lain kebanyakan berasal dari kota dan kecamatan lain, bahkan
siswa yang saya ketahui berasal dari SMP unggul dikecamatan kami sama sekali
tak mampu bersaing di kelas. Berarti saya yang jatuh di pilihan ke tiga untuk
memutuskan sekolah di MTS bukan pilihan yang salah, mungkin saja karena saya
orangnya taat dan selalu mengiyakan arahan orang tua, jadinya Allah memberi
jalan yang lebih baik.
Ketika
hendak kuliah, menjatuhkan pilihan untuk jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas
pun saya akui sebagai pilihan terakhir. Sebenarnya saya bercita-cita menjadi
seorang dokter, saking obsesinya dua kali saya mengikuti tes masuk PTN (ujian
masuk lokal dan SNMPTN) selalu memilih
kodekteran di pilihan pertama dan di pilihan ke dua. Hasilnya semuanya gagal.
Saya tak pernah dinyatakan lulus sebagai mahasiswa kedokteran. Lagi-lagi saat
itu saya memilih untuk mencoba mendaftarkan diri menjadi seorang mahasiswa
bidang pendidikan guru di salah satu universitas negeri, ayah memberikan
sedikit masukan lagi, yang bagi saya sangat susah untuk melawannya. Jangan
mendaftar ujian masuk lagi, saya dititah tuk memilih saja jurusan yang telah
saya lulusi, dan saat itu saya lulus tanpa tes di Jurusan ilmu tanah
Universitas Hasanuddin. Dengan mengajukan syarat kalau saya tak betah di
jurusan itu, saya akan mendaftar ujian masuk di tahun mendatang. Deal, ayah setuju.
Sayangnya setahun berlalu saya malah
betah di jurusan Ilmu tanah, jurusan yang tidak pernah saya impikan dan baru saya
kenal setelah disuruh memilih jurusan ketika persiapan mendaftar PMDK. IPK saya
saat itu terbilang sebagai salah satu IPK tertinggi di Fakultas Pertanian Unhas
di tahun pertama dan berhasil menyelesaikan studi sebagai satu-satunya
mahasiswa Ilmu Tanah yang lulus dengan predikat cum laude di angkatan saya. Bahkan di jurusan ini saya belajar
banyak hal, mengukir beberapa prestasi dengan memenangkan beberapa lomba
tingkat Universitas dan Nasional serta mewakili kampus Unhas sebagai mahasiswa
KKN Internasional pertama bidang Agrokompleks di Jepang selama dua bulan. Dan
ini menjadi catatan ke dua bahwa pilihan ke tiga bukan berarati pilihan yang
paling jelek. Ada banyak cerita dari setiap pilihan yang kita syukuri, tentunya
perlu kecamata iman untuk mencari butiran hikmah di dalamya.
Dan saat ini saya sedang berada di
penghujung semester I di IPB, sebuah Universitas yang katanya Institut
Pertanian terbesar di Asia Tenggara. Dan perlu saya ulangi lagi bahwa kali ini
saya jatuh di pilihan ke tiga lagi. Pilihan yang lagi-lagi menunggu arahan dari
orang tua, padahal tak seharusnya orang tua saya mengarahkan saya kali ini,
secara saya akan melangkahkan kaki ke jenjang S2 jenjang dimana semakin sedikit
orang Indonesia menempuh pendidikan setinggi itu, sedangkan ayah saya sendiri
hanya tamatan SD, seharusnya saya sudah dengan tegas mengatakan tidak. Namun
setiap anak harus ingat bahwa setiap anak memiliki kewajiban untuk meminta
pendapat dari orang tua di setiap pilihan bagaimana pun keadaannya, dan seorang
anak setinggi apa pun ilmunya tidak berhak untuk merasa lebih pintar dibanding
orang tuanya.
Sebenarnya
saya sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di Luar negeri, saya kira
sangat wajar jika saya yang mempunyai pengalaman melaksanakan studi singkat di
luar negeri ingin kembali belajar di sana. Sayangnya sepertinya nilai skor
TOEFL tak pernah mendukung, hingga akhirnya menjelang deadline pendaftaran beasiswa
keluar negeri saya memilih fokus untuk mendaftar tahun depan saja. Ayah
memberikan opsi lagi, jangan nganggur, katanya lebih baik lanjut aja dulu nanti
kalau mampu keluar baru lanjut keluar negeri ringkasnya lebih baik lanjut untuk
sementara waktu untuk mengisi waktu kosong. Saya memilih lanjut di Unhas saja
kalau demikian karena saya yakin kuliah di unhas akan banyak kegiatan yang bisa
saya lakukan, sayangnya takdir berkata lain, karena waktu itu sempat liburan ke Malaysia dulu jadinya telat mendaftar di Unhas, dan pada akhirnya mau tak
mau, karena mengikut saran ayah saya kuliah di IPB di pilihan ke tiga. Lagi.
Jika waktu S1 saya betah karena mendapatkan feel belajar dan disertai IPK yang
sangat memuaskan, kali ini belum ada alasan saya betah di kampus ini, namun
saya percaya jika jujur dalam menjalankan segala sesuatu, kita tinggal menunggu
akan kemana Allah akan mengarahkan.
IPB, kampus pilihan terakhir namun
tak bearati harapan terakhir. Pilihan boleh berakhir, namun harapan tak punya
akhir, bukan?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar