Senin, 03 Februari 2014

IPB, LAGI-LAGI JATUH DI PILIHAN TERAKHIR


            Kadang saya sendiri berani menilai bahwa  sebenarnya saya orang yang pandai bersyukur. Tulisan ini tak akan sanggup menjelaskan semua yang kurasakan, tak mampu mengukir semua yang pernah saya alami atau bahkan tak kan pernah mampu menggambarkan apa yang sesungguhnya tengah terjadi dalam diri saya., tapi hanya saja jika kemudian ada yang menilai tulisan ini rekayasa itu adalah kesalahan besar yang pasti ini bukan tulisan palsu sebab saya telah berusaha menceritakan semua yang saya alami, yang saya rasakan dan segala hal yang mungkin bisa membantu orang untuk runut dalam membaca pikiranku, sebab antara penulis dan pembaca sebenarnya tidak jauh artian saling bertukar fikiran.
            Saya ingin mengawali tulisan ini dengan menyebut alur yang saya pilih, mungkin supaya bisa terbaca jelas, saya akan memilih alur maju saja, selain untuk memudahkan pembaca, juga meringankan saya dalam menyusun tulisan ini.
Saya belum pernah merasa berhasil mendapat apa yang saya inginkan dan selalu menjatuhkan pada pilihan kedua bahkan opsi terakhir yang masih tersedia.
            Waktu itu saya lulus SD dengan NEM rata-rata 8,01. Saya mau sekolah di pesantren. Kepala sekolah menjamin, akan sangat rugi jika saya dengan NEM brilian hanya lulus di SMP yang belum mempunyai nama, seperti berusaha memberikan saya semangat, bahwa saya sesungguhnya memiliki kemampuan lebih dibanding teman-teman yang lain. Niat sekolah di pesantren semakin memuncak ketika kabar silih berganti menceritakan tentang kemampuan lulusan pesantren yang mumpuni dalam membaca Qur’an dan berbahasa asing seperti bahasa arab dan inggris. Sempat beberapa saat ayah mencari informasi yang cukup tentang pesantren, tentunya hal itu  menumbuhkan sebuah harapan baru bagi saya untuk menempuh pendidikan di pesantren, namun pendek cerita saat itu dengan alasan sepele yang konon di pesantren banyak kejadian ganjil hingga akhirnya Ayah melaran untuk lanjut di pesantren, kalau begitu saya mau lanjut di SMP terdekat saja ucapku memberikan pilihan jika Ayah tak berkenan saya lanjut di
Pesantren, lagian SMP di kecamatan juga lumayan terdengar baik dalam persaingan belajar yang sehat, disana ada kelas unggulan, tempat dimana orang-orang yang mampu bersaing beradu kemampuan dalam belajar. Ayah tak setuju. Katanya kalau niatnya ke pesantren artinya pilihan ke dua adalah satu tingkat di bawah pesantren itu yaitu Madrasan Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP dengan kurikulim agama tambahan atau biasa disebut MTS) bukan SMP. Karena saya orangnya penurut, saya meng-ia-kan saja, padahal saya tahu betul track record MTS yang saya tempati sekolah waktu itu bukan sekolah yang diidam-idamkan. Bahkan kebanyakan dihuni oleh siswa dengan latar belakang keilmuan yang kurang baik. Saya kemudian baru tersadar bahwa saya tidak salah pilih ketika berada di kelas unggulan di SMA yang difavoritkan di kabupaten. Alangkah terkejutnya ketika saya yang berasal dari MTS mampu bersaing dan lolos untuk menghuni kelas unggulan, dan saya satu-satunya siswa dari kecamatan saya yang lolos, yang lain kebanyakan berasal dari kota dan kecamatan lain, bahkan siswa yang saya ketahui berasal dari SMP unggul dikecamatan kami sama sekali tak mampu bersaing di kelas. Berarti saya yang jatuh di pilihan ke tiga untuk memutuskan sekolah di MTS bukan pilihan yang salah, mungkin saja karena saya orangnya taat dan selalu mengiyakan arahan orang tua, jadinya Allah memberi jalan yang lebih baik.
Ketika hendak kuliah, menjatuhkan pilihan untuk  jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas pun saya akui sebagai pilihan terakhir. Sebenarnya saya bercita-cita menjadi seorang dokter, saking obsesinya dua kali saya mengikuti tes masuk PTN (ujian masuk lokal dan SNMPTN)  selalu memilih kodekteran di pilihan pertama dan di pilihan ke dua. Hasilnya semuanya gagal. Saya tak pernah dinyatakan lulus sebagai mahasiswa kedokteran. Lagi-lagi saat itu saya memilih untuk mencoba mendaftarkan diri menjadi seorang mahasiswa bidang pendidikan guru di salah satu universitas negeri, ayah memberikan sedikit masukan lagi, yang bagi saya sangat susah untuk melawannya. Jangan mendaftar ujian masuk lagi, saya dititah tuk memilih saja jurusan yang telah saya lulusi, dan saat itu saya lulus tanpa tes di Jurusan ilmu tanah Universitas Hasanuddin. Dengan mengajukan syarat kalau saya tak betah di jurusan itu, saya akan mendaftar ujian masuk di tahun mendatang. Deal, ayah setuju.
            Sayangnya setahun berlalu saya malah betah di jurusan Ilmu tanah, jurusan yang tidak pernah saya impikan dan baru saya kenal setelah disuruh memilih jurusan ketika persiapan mendaftar PMDK. IPK saya saat itu terbilang sebagai salah satu IPK tertinggi di Fakultas Pertanian Unhas di tahun pertama dan berhasil menyelesaikan studi sebagai satu-satunya mahasiswa Ilmu Tanah yang lulus dengan predikat cum laude di angkatan saya. Bahkan di jurusan ini saya belajar banyak hal, mengukir beberapa prestasi dengan memenangkan beberapa lomba tingkat Universitas dan Nasional serta mewakili kampus Unhas sebagai mahasiswa KKN Internasional pertama bidang Agrokompleks di Jepang selama dua bulan. Dan ini menjadi catatan ke dua bahwa pilihan ke tiga bukan berarati pilihan yang paling jelek. Ada banyak cerita dari setiap pilihan yang kita syukuri, tentunya perlu kecamata iman untuk mencari butiran hikmah di dalamya.
            Dan saat ini saya sedang berada di penghujung semester I di IPB, sebuah Universitas yang katanya Institut Pertanian terbesar di Asia Tenggara. Dan perlu saya ulangi lagi bahwa kali ini saya jatuh di pilihan ke tiga lagi. Pilihan yang lagi-lagi menunggu arahan dari orang tua, padahal tak seharusnya orang tua saya mengarahkan saya kali ini, secara saya akan melangkahkan kaki ke jenjang S2 jenjang dimana semakin sedikit orang Indonesia menempuh pendidikan setinggi itu, sedangkan ayah saya sendiri hanya tamatan SD, seharusnya saya sudah dengan tegas mengatakan tidak. Namun setiap anak harus ingat bahwa setiap anak memiliki kewajiban untuk meminta pendapat dari orang tua di setiap pilihan bagaimana pun keadaannya, dan seorang anak setinggi apa pun ilmunya tidak berhak untuk merasa lebih pintar dibanding orang tuanya.
            Sebenarnya saya sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di Luar negeri, saya kira sangat wajar jika saya yang mempunyai pengalaman melaksanakan studi singkat di luar negeri ingin kembali belajar di sana. Sayangnya sepertinya nilai skor TOEFL tak pernah mendukung, hingga akhirnya menjelang deadline pendaftaran beasiswa keluar negeri saya memilih fokus untuk mendaftar tahun depan saja. Ayah memberikan opsi lagi, jangan nganggur, katanya lebih baik lanjut aja dulu nanti kalau mampu keluar baru lanjut keluar negeri ringkasnya lebih baik lanjut untuk sementara waktu untuk mengisi waktu kosong. Saya memilih lanjut di Unhas saja kalau demikian karena saya yakin kuliah di unhas akan banyak kegiatan yang bisa saya lakukan, sayangnya takdir berkata lain, karena waktu itu sempat liburan ke Malaysia dulu jadinya telat mendaftar di Unhas, dan pada akhirnya mau tak mau, karena mengikut saran ayah saya kuliah di IPB di pilihan ke tiga. Lagi. Jika waktu S1 saya betah karena mendapatkan feel belajar dan disertai IPK yang sangat memuaskan, kali ini belum ada alasan saya betah di kampus ini, namun saya percaya jika jujur dalam menjalankan segala sesuatu, kita tinggal menunggu akan kemana Allah akan mengarahkan.  

            IPB, kampus pilihan terakhir namun tak bearati harapan terakhir. Pilihan boleh berakhir, namun harapan tak punya akhir, bukan?. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar