Sabtu, 09 Mei 2015

Semua Mata Tertuju Padamu

Hari ke dua puluh di tanah rantau. “Kawaramchi-Kawaramachi desu....” bunyi kereta kotoden yang wajib kami dengarkan baik-baik. sejauh hitungan jam beralir ke detik baru, belum ada tempat yang paling sering kami kunjungi selain stasiun ini, Kawaramachi Eki.  Mungkin sejauh ini akhir pekan adalah milik Kawaramachi, tentunya untuk liburan, untuk refreshing dan kami menyebutnya the real refreshing. Mungkin di Indonesia sudah banyak mahasiswa yang tidak bisa membedakan antara hari libur atau bukan lantaran setiap hari diisi seperti liburan, kemana-mana kebanyakan waktu luang, bahkan buat mahasiswa tingkat akhir weekend hanya perubahan tanggal yang menambah daftar lama studi selebihnya bermalas-malasan untuk mengerjakan penelitian dan menunda bertemu dosen pembimbing.
                Saya selalu menjadi andalan jika bersama teman-teman SUIJI Kagawa. Sekedar untuk bertanya dalam bahasa jepang saya selalu disuruh paling depan, meski pada akhirnya untuk mentranslate jawaban butuh sedikit tebak-tebakan, begitu pun untuk memberikan ‘fatwa’ halal-haram ketika membeli makanan teman-teman SUIJI lebih mempercayakan untuk saya fatwai dengan jalan
membaca ingredient dari makanan yang dibeli dan kali ini giliran saya lagi untuk menyatakan niatan kami ke post peminjaman sepeda untuk membuat member card dan menyewa sepeda.
                Hari ini, sakura di beberapa tempat sudah bermekaran,sekira beberapa ratus meter dari eki, Sakura selalu sukses menyita perhatian dan seperti memanggil untuk sashing toru (take picture,  ambil foto). Tapi karena tujuan kami bukan untuk sekedar foto-foto pada perjalanan kali ini,beberapa kali kami saling mengingatkan “nanti pas pulang saja”. oh ya,niatan kami ke Stasiun Kawara Machi kali ini adalah untuk mencari i-phone buat keperluan komunikasi selama di Jepang.  Dan perlu diketahui I-phone bukan barang yang terlalu mewah di negara ini, hampir semua orang atau mungkin sekitar 70 persen orang di kampus memakai I-phone dan untuk beberapa tipe dapat dibeli dengan harga yang sangat miring  hingga hanya satu juta rupiah. Meski itu barang bekas tapi tentunya teman saya Nurul dan Liza tidak mau melewatkan kesempatan ini, apalagi alasannya kuat, handphone sangat dibutuhkan di Jepang sedangkan hape dari Indonesia tidak bisa digunakan karena harus menggunakan sistem yang ada di Jepang, umumnya di Jepang hape dijual beserta kartu seluler dan tidak semudah di indonesia yang begitu mudah gonta-ganti kartu, saya pikir sebagian masalah administrasi sebenarnya dapat diselesaikan melalui pemilikan kartu seluler. Bahkan di Indonesia lagi marak penipuan lewat telepon dan itu semua berakar dari ketidak bagusan administrasi kita.
                Satu kesempatan istimewa untuk bisa groufie adalah saat kami berjejer rapi di depan penyeberangan menunggu akai singo (Lampu merah) berubah menjadi hijau. Tapi yang unik adalah, tepat kami melewati mobil yang berjejer karena menunggu giliran lampu hijau bagi mereka, rombongan kami selalu menjadi perhatian. Saya pikir kali ini bukan karena kami orang asing, karena kota semaju Jepang sudah pasti sudah terbiasa didatangi dan menjamu orang serta degan senang hati memperkenalkan budaya mereka. Jelas sekali mata para pengemudi mengarah kepada tiga gadis cantik dari indonesia peserta suiji, mereka adalah Liza, Nurul dan Rusdah. “Hei,... semua mata tertuju padamu” ungkapku dengan sedikit berteriak sambil mengayuh sepeda. Dan kali ini tidak perlu catwalk khusus untuk menjadi perhatian, cukup dengan memasang seukuran kain kecil rapi penutup kepala dan spontan semua orang seperti menjadikan itu hal yang sangat menarik untuk dipertanyakan. Mengapa syal harus dililit seperti itu di atas kepala? dan mungkin banyak pertanyaan lain yang bersarang di kepala mereka.
                “Semua mata tertuju padamu, woi... " ucapku sekali lagi kepada tiga gadis indonesia yang membawa simbol menarik untuk perkenalan awal tentang Islam, sebab kita kadang tak tahu sejak kapan suatu perubahan bermula.
#####
                Akbar (peserta SUIJI selain Liza,Nurul,Rusdah dan saya)seperti sudah menunggu lama pada barisan paling depan .Kemana Rusdah dan Liza?
“Ah palingan mereka berfoto di jalan lagi”. Jawabku
Akbar seperti menunjukkan kekhawatiran, jauh lebih bertanggung jawab dibanding diriku.
Kakinya beranjak dari roda sepeda menuju trotoar dan memutar arah pedal ke belakang, Akbar seperti penasaran seputar apa yang sedang terjadi di belakang? Adakah suatu kejadian melintang?
Sekira tiga menit, rasanya memang tak wajar jika hanya sekedar mengambil foto. Saya harus ikut menyusul mencari serombongan cewek berjilbab yang sukses menjadi perhatian hari ini.
Dari jauh, Seperti ada kekhawatiran ketika melihat teman-teman saya dikelilingi beberapa orang Jepang? Ada pelanggaran apa mereka? Nabrak barang antik atau apa ya?. Pokoknya saya harus mempersiapkan mental marah atau minta maaf jika dibutuhkan.
Saya menghampiri dengan bekal bahasa jepang seadanya.
Kamu bisa bahasa jepang.
Ya, sedikit bisa.
Selanjutnya adalah waktu milik saya, semua orang jepang menyampaikan perihal keinginan mereka yang sebenarnya belum dipahami sama sekali sama teman-teman yang lain.
Mereka ternyata adalah rombongan orang-orang budha yang datang dengan ekspresi mengagetkan kami, tiba-tiba mengejar teman-teman berjilbab dan hendak menawarkan agama mereka, budha.
Kami budha, kamu mau masuk budha? Tawarannya begitu tak pakai ancang-ancang?
Eeee,... saya sengaja memasang wajah tak mengerti apa maksud mereka.
Mereka memperbaharui redaksi. Kamu suka dengan budha?
Maaf saya Islam, saya tidak bisa menjadi budha.
Mereka mengangguk, kalau kristen bagaimana?
Saya sengaja tak menjawab pertanyaan itu persis seperti yang diinginkan perihal suka atau tak suka.
Jawaban saya sederhana. Di Negara kami juga banyak kristen, ada budha tapi yang paling banyak adalah Islam.
Mereka mengangguk lagi.
Pertanyaan mereka seperti merubah susunan kata agar tak kaku, pertanyaaan bergulir seputar studi kami, lama tinggal di Jepang kapan tiba dan seputar  segala hal yang mungkin untuk komunikasi awal berkenalan lazimnya. Dan pertanyaan paling akhir yang saya ingat adalah pertanyaan seputar alamat kami. katanya jika ada waktu mereka akan berkunjung.
Sayangnya saya agak tak telaten melihat peta di google map, untuk menggambarkan alamat saya cuma bilang di sekitar kampus Kagawa University fakultas pertanian. Kita bisa belajar tentang agama bersama. Tutup mereka dan dibumbui dengan berjuta ekspresi memberi semangat menjalani studi dan belajar bahasa jepang kepada teman-teman yang lain.
Saya sendiri kembali dengan sedikit merasa salut dengan tekad mereka mempromosikan agama. Saya sedikit berprasangka baik, mungkin mereka baru kenal tentang agama sampai semangat mereka begitu kuat untuk berdiskusi tentang agama. Jepang di mata saya menjadi sasaran empuk bagi sebagian orang yang mempunyai visi besar dalam mensyiarkan agamanya.ini bukan kali pertama, hampir tiga pekan berturut-turut ajakan untuk ikut jamaat gereja selalu menghampiri kotak surat di apartemen, dan kadang surat dengan secara jelas menuliskan nama dengan katakana, artinya mereka bukan asal dalam menyebar panflet. Bahkan di jalan kadang ada pembagian panflet ajakan masuk kristen seperti advertising produk. Lalu Islam apa kabar, bagaimana syiarnya??

Perjalanan kami berlanjut. Tak terhitung berapa mata yang tertahan menatap jilbab di kepala, pun tak terhitung berapa kali roda berputar untuk berjalan di bumi Allah yang sungguh luas ini. Tak ada yang tahu betapa Allah menitip pesan di setiap kejadian kecuali para pencari hikmah dan mereka yang kadang tersadar tentang apa hakikat hidup.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar