Hari ke dua puluh
di tanah rantau. “Kawaramchi-Kawaramachi desu....” bunyi kereta kotoden yang
wajib kami dengarkan baik-baik. sejauh hitungan jam beralir ke detik baru,
belum ada tempat yang paling sering kami kunjungi selain stasiun ini, Kawaramachi Eki. Mungkin sejauh ini
akhir pekan adalah milik Kawaramachi, tentunya untuk liburan, untuk refreshing
dan kami menyebutnya the real refreshing.
Mungkin di Indonesia sudah banyak mahasiswa yang tidak bisa membedakan antara
hari libur atau bukan lantaran setiap hari diisi seperti liburan, kemana-mana
kebanyakan waktu luang, bahkan buat mahasiswa tingkat akhir weekend hanya
perubahan tanggal yang menambah daftar lama studi selebihnya bermalas-malasan
untuk mengerjakan penelitian dan menunda bertemu dosen pembimbing.
Saya selalu menjadi andalan jika
bersama teman-teman SUIJI Kagawa. Sekedar untuk bertanya dalam bahasa jepang saya selalu disuruh paling depan, meski pada akhirnya untuk mentranslate jawaban butuh sedikit
tebak-tebakan, begitu pun untuk memberikan ‘fatwa’ halal-haram ketika membeli
makanan teman-teman SUIJI lebih mempercayakan untuk saya fatwai dengan jalan
membaca ingredient dari makanan yang dibeli dan kali ini giliran saya lagi untuk menyatakan niatan kami ke post peminjaman sepeda untuk membuat member card dan menyewa sepeda.
membaca ingredient dari makanan yang dibeli dan kali ini giliran saya lagi untuk menyatakan niatan kami ke post peminjaman sepeda untuk membuat member card dan menyewa sepeda.
Hari ini, sakura di beberapa
tempat sudah bermekaran,sekira beberapa ratus meter dari eki, Sakura selalu
sukses menyita perhatian dan seperti memanggil untuk sashing toru (take picture, ambil foto). Tapi karena tujuan kami
bukan untuk sekedar foto-foto pada perjalanan kali ini,beberapa kali kami
saling mengingatkan “nanti pas pulang saja”. oh ya,niatan kami ke Stasiun Kawara Machi kali ini adalah untuk
mencari i-phone buat keperluan
komunikasi selama di Jepang. Dan perlu
diketahui I-phone bukan barang yang terlalu mewah di negara ini, hampir semua
orang atau mungkin sekitar 70 persen orang di kampus memakai I-phone dan untuk
beberapa tipe dapat dibeli dengan harga yang sangat miring hingga hanya satu juta rupiah. Meski itu
barang bekas tapi tentunya teman saya Nurul dan Liza tidak mau melewatkan
kesempatan ini, apalagi alasannya kuat, handphone sangat dibutuhkan di Jepang
sedangkan hape dari Indonesia tidak bisa digunakan karena harus menggunakan
sistem yang ada di Jepang, umumnya di Jepang hape dijual beserta kartu seluler
dan tidak semudah di indonesia yang begitu mudah gonta-ganti kartu, saya pikir
sebagian masalah administrasi sebenarnya dapat diselesaikan melalui pemilikan
kartu seluler. Bahkan di Indonesia lagi marak penipuan lewat telepon dan itu
semua berakar dari ketidak bagusan administrasi kita.
Satu kesempatan istimewa untuk
bisa groufie adalah saat kami
berjejer rapi di depan penyeberangan menunggu akai singo (Lampu merah) berubah
menjadi hijau. Tapi yang unik adalah, tepat kami melewati mobil yang berjejer
karena menunggu giliran lampu hijau bagi mereka, rombongan kami selalu menjadi
perhatian. Saya pikir kali ini bukan karena kami orang asing, karena kota
semaju Jepang sudah pasti sudah terbiasa didatangi dan menjamu orang serta degan
senang hati memperkenalkan budaya mereka. Jelas sekali mata para pengemudi
mengarah kepada tiga gadis cantik dari indonesia peserta suiji, mereka adalah
Liza, Nurul dan Rusdah. “Hei,... semua mata tertuju padamu” ungkapku dengan
sedikit berteriak sambil mengayuh sepeda. Dan kali ini tidak perlu catwalk
khusus untuk menjadi perhatian, cukup dengan memasang seukuran kain kecil rapi penutup
kepala dan spontan semua orang seperti menjadikan itu hal yang sangat menarik
untuk dipertanyakan. Mengapa syal harus dililit seperti itu di atas kepala? dan
mungkin banyak pertanyaan lain yang bersarang di kepala mereka.
“Semua mata tertuju padamu,
woi... " ucapku sekali lagi kepada tiga gadis indonesia yang membawa simbol
menarik untuk perkenalan awal tentang Islam, sebab kita kadang tak tahu sejak
kapan suatu perubahan bermula.
#####
Akbar (peserta SUIJI selain
Liza,Nurul,Rusdah dan saya)seperti sudah menunggu lama pada barisan paling
depan .Kemana Rusdah dan Liza?
“Ah palingan
mereka berfoto di jalan lagi”. Jawabku
Akbar seperti
menunjukkan kekhawatiran, jauh lebih bertanggung jawab dibanding diriku.
Kakinya beranjak
dari roda sepeda menuju trotoar dan memutar arah pedal ke belakang, Akbar seperti
penasaran seputar apa yang sedang terjadi di belakang? Adakah suatu kejadian
melintang?
Sekira tiga
menit, rasanya memang tak wajar jika hanya sekedar mengambil foto. Saya harus ikut
menyusul mencari serombongan cewek berjilbab yang sukses menjadi perhatian
hari ini.
Dari jauh, Seperti
ada kekhawatiran ketika melihat teman-teman saya dikelilingi beberapa orang
Jepang? Ada pelanggaran apa mereka? Nabrak barang antik atau apa ya?. Pokoknya saya
harus mempersiapkan mental marah atau minta maaf jika dibutuhkan.
Saya menghampiri
dengan bekal bahasa jepang seadanya.
Kamu bisa bahasa jepang.
Ya, sedikit bisa.
Selanjutnya
adalah waktu milik saya, semua orang jepang menyampaikan perihal keinginan
mereka yang sebenarnya belum dipahami sama sekali sama teman-teman yang lain.
Mereka ternyata
adalah rombongan orang-orang budha yang datang dengan ekspresi mengagetkan
kami, tiba-tiba mengejar teman-teman berjilbab dan hendak menawarkan agama
mereka, budha.
Kami budha, kamu
mau masuk budha? Tawarannya begitu tak pakai ancang-ancang?
Eeee,... saya
sengaja memasang wajah tak mengerti apa maksud mereka.
Mereka memperbaharui
redaksi. Kamu suka dengan budha?
Maaf saya Islam,
saya tidak bisa menjadi budha.
Mereka
mengangguk, kalau kristen bagaimana?
Saya sengaja tak
menjawab pertanyaan itu persis seperti yang diinginkan perihal suka atau tak
suka.
Jawaban saya sederhana.
Di Negara kami juga banyak kristen, ada budha tapi yang paling banyak adalah
Islam.
Mereka
mengangguk lagi.
Pertanyaan
mereka seperti merubah susunan kata agar tak kaku, pertanyaaan bergulir seputar
studi kami, lama tinggal di Jepang kapan tiba dan seputar segala hal yang mungkin untuk komunikasi awal
berkenalan lazimnya. Dan pertanyaan paling akhir yang saya ingat adalah
pertanyaan seputar alamat kami. katanya jika ada waktu mereka akan berkunjung.
Sayangnya saya
agak tak telaten melihat peta di google map,
untuk menggambarkan alamat saya cuma bilang di sekitar kampus Kagawa University fakultas pertanian. Kita bisa
belajar tentang agama bersama. Tutup mereka dan dibumbui dengan berjuta
ekspresi memberi semangat menjalani studi dan belajar bahasa jepang kepada
teman-teman yang lain.
Saya sendiri kembali dengan sedikit merasa salut dengan tekad mereka
mempromosikan agama. Saya sedikit berprasangka baik, mungkin mereka baru kenal
tentang agama sampai semangat mereka begitu kuat untuk berdiskusi tentang
agama. Jepang di mata saya menjadi sasaran empuk bagi sebagian orang yang
mempunyai visi besar dalam mensyiarkan agamanya.ini bukan kali pertama, hampir
tiga pekan berturut-turut ajakan untuk ikut jamaat gereja selalu menghampiri
kotak surat di apartemen, dan kadang surat dengan secara jelas menuliskan nama dengan
katakana, artinya mereka bukan asal dalam menyebar panflet. Bahkan di jalan kadang
ada pembagian panflet ajakan masuk kristen seperti advertising produk. Lalu Islam
apa kabar, bagaimana syiarnya??
Perjalanan kami berlanjut. Tak terhitung berapa mata yang tertahan
menatap jilbab di kepala, pun tak terhitung berapa kali roda berputar untuk
berjalan di bumi Allah yang sungguh luas ini. Tak ada yang tahu betapa Allah
menitip pesan di setiap kejadian kecuali para pencari hikmah dan mereka yang
kadang tersadar tentang apa hakikat hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar